Jakarta, KPonline-Industri hulu tekstil kembali terpukul. Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI) melaporkan lima pabrik produsen hulu tekstil resmi menghentikan operasional akibat penurunan produksi yang terus memburuk.
Imbasnya, sekitar 3.000 pekerja diperkirakan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Sekretaris Jenderal APSyFI, Farhan Aqil Syauqi, menyebut lima perusahaan tersebut meliputi PT Polychem Indonesia yang beroperasi di Karawang dan Tangerang, PT Asia Pacific Fibers di Karawang, PT Rayon Utama Makmur yang merupakan bagian dari Sritex Group, PT Panasia Indosyntec, serta PT Susilia Indah Synthetics Fiber Industries (Sulindafin) di Tangerang.
Menurut Farhan, penutupan ini terjadi akibat kerugian besar yang dialami perusahaan karena penjualan di pasar domestik tidak bergerak. Produk impor dengan harga dumping, baik kain maupun benang, membuat produk lokal sulit bersaing.
Kondisi tersebut membuat sebagian pabrik lain kini hanya beroperasi di bawah 50% kapasitas, bahkan ada yang menerapkan sistem on-off.
“Lima mesin polimerisasi sudah berhenti total,” ujar Farhan.
Ia memperingatkan potensi penutupan pabrik tekstil lain pada 2026 jika pemerintah tidak segera mengendalikan arus impor dan membuka transparansi mengenai penerima kuota impor terbesar.
Data tersebut, kata Farhan, seharusnya mudah diakses pemerintah karena setiap barang impor tercatat dalam sistem bea cukai.
“Ini tinggal menunggu action pemerintah. Jika tidak ada tindakan korektif, enam perusahaan lainnya bisa menyusul bangkrut karena tidak mampu menjual produknya di pasar domestik. Rencana produksi tahun depan juga tidak bisa ditentukan tanpa transparansi kuota impor. Deindustrialisasi benar-benar terjadi,” tegasnya.
Farhan juga mengapresiasi langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang berkomitmen menekan praktik impor ilegal. Ia menilai penyelidikan terhadap impor thrifting dapat membuka dugaan kecurangan dalam tata niaga impor.
“Dari impor thrifting itu bisa terlihat siapa importirnya hingga siapa backing-nya. Penegak hukum bisa menelusuri siapa yang menyebabkan kerugian negara. Kami meyakini ada birokrat yang terlibat dan keterafiliasian itu sudah matang,” kata Farhan.
Lima pabrik tekstil tutup adalah fakta telanjang bahwa industri nasional sedang sekarat.
Bukan karena buruh. Bukan karena upah.
Tapi karena pemerintah membiarkan pasar dibanjiri produk impor murah hingga industri lokal tercekik di tanahnya sendiri.
Jika arus impor tidak dikendalikan, jika data kuota impor tetap gelap, jika tata niaga terus dikuasai segelintir aktor. Maka 2026 bisa menjadi tahun paling gelap bagi industri tekstil Indonesia.
Dan sejarah akan kembali mencatat bahwa bukan buruh yang merobohkan industri, tetapi kebijakan yang lalai melindungi mereka.