Transisi menuju energi bersih telah menjadi bagian dari komitmen global dalam menghadapi krisis iklim. Indonesia pun mengambil bagian dengan mendorong pengembangan energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, air, dan bioenergi. Namun, di balik optimisme dan jargon keberlanjutan, terdapat ancaman serius yang harus diwaspadai. Acanaman itu adalah terkait dengan privatisasi terselubung yang membungkus dirinya dalam proyek-proyek hijau.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menegaskan bahwa energi bersih tidak boleh menjadi pintu masuk bagi liberalisasi sektor energi. Ketika proyek-proyek energi terbarukan dikendalikan oleh segelintir korporasi swasta tanpa transparansi dan akuntabilitas publik, maka yang terjadi bukanlah demokratisasi energi, melainkan perampasan sumber daya alam.
Bahaya utama dari privatisasi terselubung ini adalah hilangnya kontrol publik atas sektor yang sangat strategis. Energi, sebagai kebutuhan dasar masyarakat, seharusnya dikelola negara dan didistribusikan untuk kesejahteraan rakyat. Begitulah konstitusi negara kita mengamanatkan.
Namun dalam banyak proyek energi baru dan terbarukan (EBT), kita justru menyaksikan kecenderungan bahwa penguasaan atas sumber daya alam, lahan, dan infrastruktur energi beralih ke tangan swasta, bahkan asing.
Jika ini dibiarkan, ada beberapa risiko yang akan terjadi. Pertama, adanya kenaikan tarif dan biaya energi yang tidak terkendali karena harga ditentukan oleh logika pasar, bukan kebutuhan rakyat.
Permasalahan lain yang akan terjadi adalah pelemahan posisi buruh, karena korporasi cenderung meminimalkan biaya produksi dengan sistem kerja kontrak, outsourcing, dan upah murah. Selain itu, juga akan memunculkan ketimpangan akses energi antara wilayah perkotaan dan pedesaan, karena investasi swasta hanya masuk ke daerah yang menguntungkan secara komersial.
Jika itu terjadi, jelas hal ini merupakan pengabaian prinsip keadilan sosial, di mana ekonomi hijau yang didorong oleh keuntungan cenderung abai terhadap hak masyarakat adat, lingkungan hidup, dan mereka yang terdampak.
KSPI menolak skenario di mana transisi energi hanya menjadi kedok untuk mempercepat privatisasi sektor energi. Energi bersih yang dibangun di atas logika kapitalisme pasar bebas hanya akan mengulang pola eksploitasi lama dalam bentuk yang baru. Panel surya dan turbin angin tidak serta-merta menjamin keadilan jika sistem pengelolaannya tetap eksklusif dan anti-partisipatif.
Karena itu, KSPI menyerukan agar transisi energi diarahkan untuk memperkuat sistem energi publik yang transparan, adil, dan berpihak pada rakyat. Negara harus memastikan bahwa infrastruktur energi bersih dikelola dengan prinsip demokrasi energi. Ada keterbukaan informasi, partisipasi masyarakat, dan perlindungan hak-hak pekerja.
Ini berarti, kita harus menghentikan liberalisasi sektor energiyang melepas kontrol negara atas produksi dan distribusi. Kemudian, memastikan adanya keterlibatan serikat pekerja dan masyarakat sipil dalam perencanaan dan pengawasan proyek EBT. Termasuk dengan menjamin hak-hak buruh di industri energi bersih, termasuk status kerja tetap, pengupahan layak, jaminan sosial, dan kebebasan berserikat.
Energi adalah hak publik, bukan komoditas. Karena itu, transisi energi tidak boleh diserahkan pada logika pasar. Negara harus hadir sebagai pengatur dan pelindung, bukan sekadar fasilitator investasi.
KSPI percaya bahwa masa depan yang hijau hanya mungkin terjadi jika dibangun di atas keadilan sosial dan kontrol publik yang kuat. Energi bersih harus menjadi milik bersama, bukan alat akumulasi kekayaan segelintir elite. Jika tidak, maka transisi ini hanya akan menimbulkan eksploitasi.
Sudah saatnya kita berkata tegas: energi bersih, yes. Privatisasi, no.
__________
Catatan: Artikel ini ditulis sebagai bagian dari kampanye yang dilakukan KSPI bekerjasama dengan SASK dan APHEDA sebagai bagian dari upaya mendorong transisi yang adil bagi pekerja. Materi dan isi tulisan tidak mewakili pandangan SASK maupun APHEDA.