Ada yang bercerita bahwa dunia kerja identik dengan perintah, tekanan, dan tuntutan. Buruh hanya dianggap sebagai roda penggerak yang bisa diganti kapan saja. Karyawan dinilai dari target, bukan dari kesejahteraannya. Atasan dipandang sebagai pemilik kuasa tunggal, sementara pekerja hanya bisa tunduk dan patuh. Eksploitasi, baik secara fisik maupun mental, terjadi diam-diam, menjadi budaya tak kasat mata yang diwariskan lintas generasi.
Seiring berjalannya waktu, seharusnya dunia kerja kini tak boleh lagi dipandang sebagai medan eksploitasi. Dunia kerja yang sehat bukanlah ruang antara tuan dan jongos, melainkan tempat kolaborasi antar manusia yang saling menghargai. Tempat dimana setiap kontribusi dinilai bukan hanya dari hasil, tapi juga dari cara dan nilai-nilai yang dibawa.
Namun pada kenyataannya, masih ada perusahaan yang belum memahami bahwa karyawan itu sebenarnya bukanlah sekadar sumber daya, tetapi manusia dengan aspirasi, emosi, dan harapan. Dimana, mereka ingin dihargai, diakui, dan diperlakukan secara adil.
Perlu diketahui bahwa ide dan inovasi tidak selalu datang dari ruang direktur, tapi justru dari lini terdepan, yaitu buruh yang bekerja langsung dengan produk dan pelanggan.
Selain itu, model kerja kolaboratif mampu menciptakan lingkungan kerja yang terbuka. Dimana seorang supervisor semestinya tak hanya memberi instruksi, tapi juga mendengarkan. Seorang manajer bukan hanya pengontrol, tapi fasilitator. Seorang karyawan bukan sekadar pelaksana, tapi juga pemberi masukan.
Akan tetapi, kolaboratif bukan sekadar soal rapat bersama atau diskusi hangat. Ia butuh fondasi, yaitu keadilan. Sebab tanpa keadilan, kolaboratif hanya akan menjadi slogan kosong.
Upah layak, jam kerja manusiawi, jaminan kesehatan, hak berserikat, dan lingkungan kerja yang aman adalah dasar dari kolaboratif sejati. Jika pekerja masih merasa takut kehilangan pekerjaan hanya karena bersuara, bagaimana mereka bisa merasa setara?
Serikat pekerja menjadi salah satu aktor penting dalam menjaga agar prinsip kolaborasi ini tidak melenceng. Mereka bukan lawan perusahaan, tapi mitra kritis. Serikat pekerja yang kuat dan dewasa bisa mengingatkan perusahaan bahwa keuntungan berkelanjutan hanya bisa dicapai jika pekerja merasa aman dan dihargai.
“Kerja itu bukan perbudakan. Kalau perusahaan mau maju, maka semua pihak yakni manajemen dan pekerja harus duduk setara dan bicara jujur”
Kembali lagi pertanyaannya adalah bagaimana mempercepat hal tersebut secara menyeluruh. Jawabnya adalah pemerintah, asosiasi pengusaha, serikat pekerja, akademisi, dan masyarakat sipil harus bersinergi mendorong dunia kerja yang sehat dan manusiawi.
Cara kita memperlakukan pekerja adalah cermin dari siapa kita sebagai bangsa.
Apakah kita bangsa yang adil, atau bangsa yang senang mengeksploitasi? Dunia kerja tak bisa lagi menjadi tempat derita yang disembunyikan dibalik dinding pabrik. Ia harus menjadi ruang kolaboratif, dimana manusia bertemu manusia, bukan tuan bertemu budaknya.
Dan ketika itu terjadi, bukan hanya perusahaan saja yang untung, bukan hanya pekerja yang bahagia, akan tetapi peradaban kelas pekerja bisa dikatakan sudah naik kelas.