Dugaan Pembiaran Sistematis di Tubuh PT RAPP, Lemahnya Pengawasan Subkon Hingga Buruh Jadi Korban

Dugaan Pembiaran Sistematis di Tubuh PT RAPP, Lemahnya Pengawasan Subkon Hingga Buruh Jadi Korban

Pelalawan, KpOnline-
Di balik megahnya operasional PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), salah satu perusahaan raksasa industri pulp dan kertas di Indonesia, muncul rangkaian dugaan serius terkait lemahnya pengawasan terhadap subkontraktor, praktik perekrutan tenaga kerja yang diduga menabrak regulasi, hingga kecelakaan kerja yang disebut berulang namun tidak pernah mendapat penjelasan transparan kepada publik. Temuan lapangan, kesaksian pekerja, serta penelusuran informasi menunjukkan adanya pola berulang yang dinilai sebagai bentuk pembiaran sistematis, Selasa (18/11/2025).

Kecelakaan Kerja Berulang, Namun Tidak Pernah Terbuka ke Publik

Dugaan penutupan informasi kecelakaan kerja mencuat setelah sejumlah pihak mengungkapkan bahwa beberapa insiden di area kerja subkontraktor PT RAPP berujung pada korban luka berat hingga kehilangan nyawa. Namun tidak ada rilis resmi, tidak ada konferensi pers, dan tidak ada klarifikasi publik dari pihak perusahaan maupun otoritas berwenang.

“Ini bukan kejadian tunggal. Sudah bertahun-tahun. Ada pekerja yang meninggal, tapi publik tidak pernah diberi penjelasan. Perusahaan memilih diam,” tegas Ketua DPW FSPMI Riau, Satria Putra, dalam wawancara khusus.

Menurutnya, pola ini memunculkan dugaan bahwa perusahaan ingin menjaga reputasi dengan menghindari ekspos publik. “Transparansi itu kewajiban moral dan regulatif. Tapi di sini seperti tidak dianggap penting,” tambahnya.

Subkontraktor Menang Tender Diduga Abaikan Regulasi

Hasil penelusuran FSPMI menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan subkontraktor yang memenangkan tender proyek di PT RAPP berasal dari luar daerah. Namun lebih mencengangkan, banyak dari mereka diduga membawa tenaga kerja dari daerah asal tanpa memperhatikan aturan daerah terkait kewajiban perekrutan tenaga kerja lokal.

“Perusahaan luar itu datang, menang tender, lalu memasukkan pekerja mereka sendiri. Padahal Perda tentang tenaga kerja lokal mewajibkan perekrutan minimal 60 persen. Tapi realitanya diabaikan,” kata Satria.

Dalam sejumlah kasus, pekerja lokal yang ingin melamar justru diwajibkan memiliki BPJS aktif sebelum bekerja. Satria menyebut aturan itu keliru dan menyalahi undang-undang.

“UU Ketenagakerjaan menegaskan pengusaha wajib mendaftarkan pekerja ke BPJS, bukan sebaliknya. Tapi alasan itu dipakai untuk menolak tenaga kerja lokal. Ini praktik manipulatif dan tidak beretika,” ujarnya dengan nada tegas.

Satria menilai kondisi ini bukan lagi sekadar kelalaian administratif, melainkan kegagalan struktural yang dibiarkan hidup selama bertahun-tahun.

“Jika kecelakaan kerja berulang, rekrutmen bermasalah berulang, dan tidak ada audit transparan, itu bukan insiden. Itu pola”, tegasnya.

FSPMI mendesak dilakukannya audit menyeluruh terhadap hubungan kerja, standar keselamatan, dan praktik perekrutan di lingkungan subkontraktor PT RAPP. “Perusahaan sebesar ini seharusnya menjadi contoh, bukan membiarkan subkontraktor berjalan tanpa kendali,” lanjutnya.

Isu ini kian panas setelah FSPMI melakukan aksi unjuk rasa pada 17 November 2025 di Pangkalan Kerinci. Mereka menuntut penghapusan outsourcing, menolak upah murah, dan mengecam praktik PHK sepihak dengan dalih “kondisi mendesak”.

Ketua KC FSPMI Kabupaten Pelalawan, Yudi Efrizon, mengungkapkan bahwa pihak manajemen belum memberi jawaban konkret.

“Kami sudah sampaikan tiga tuntutan itu. Sampai hari ini belum ada langkah nyata dari manajemen. Jika tuntutan diabaikan, kami akan naikkan masalah ini ke badan verifikasi dan lembaga administrasi perusahaan yang lebih tinggi. Alamat dan kontaknya sudah kami kantongi,” tegas Yudi.

Menurutnya, langkah ini bukan ancaman, melainkan prosedur yang harus ditempuh demi melindungi hak pekerja.

Dalam investigasi ini, sorotan tidak hanya tertuju pada perusahaan, tetapi juga mengarah pada instansi pemerintah, khususnya Dinas Tenaga Kerja baik tingkat provinsi maupun kabupaten.

Yudi menyampaikan keprihatinannya terkait minimnya respons pemerintah.
“Kasus banyak, laporan banyak, tapi tindakan tidak terlihat. Saya belum pernah lihat tim Disnaker turun langsung melakukan inspeksi terhadap subkontraktor yang diduga bermasalah. Seolah-olah mereka memilih diam”, kritiknya.

Minimnya inspeksi dan pengawasan dianggap memperburuk keadaan, sebab celah hukum dibiarkan terbuka lebar untuk disalahgunakan.

“Kalau pemerintah tidak bergerak, perusahaan bebas mengatur sendiri. Dan itu berbahaya”, tambah Yudi.

Pengamat ketenagakerjaan yang ditemui terpisah menilai bahwa industri raksasa seperti PT RAPP memiliki daya tawar yang begitu besar. Ketidakseimbangan antara kekuatan perusahaan dan kemampuan pengawasan pemerintah menciptakan ruang gelap yang rawan pelanggaran.

Dugaan lemahnya pengawasan adalah indikasi adanya “zona nyaman” yang tidak boleh dibiarkan. Jika perusahaan maupun pejabat pengawas tidak tunduk pada aturan, maka beban dan risikonya akan selalu jatuh kepada pekerja yang berada di posisi paling rentan.

FSPMI menegaskan bahwa pihaknya akan terus memantau dan mendorong penyelesaian berbagai dugaan pelanggaran ini. Serikat pekerja meminta pemerintah daerah, Disnaker, dan manajemen PT RAPP untuk membuka data kecelakaan kerja secara transparan, menegakkan regulasi perekrutan tenaga kerja lokal, serta memastikan semua pekerja, baik lokal maupun nonlokal, terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

“Kami tidak akan berhenti. Ini soal nyawa, kesejahteraan, dan masa depan buruh”, tegas Satria Putra.