Dua Dekade Metamorfosis Perjuangan Upah Minimum

Dua Dekade Metamorfosis Perjuangan Upah Minimum

Purwakarta, KPonline-Setiap November, rakyat pekerja selalu menunggu nilai angka upah minimum untuk tahun selanjutnya. Namun, angka yang seharusnya menjadi jaring pengaman paling dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup selalu menjadi drama politik, ekonomi, bahkan ideologis. Dua dekade terakhir menunjukkan satu hal bahwa perjuangan upah di Indonesia bukan sekadar soal hitung-hitungan, tetapi pertarungan struktural antara negara, pasar, dan kelas pekerja.

Jika sebuah bangsa dapat diukur dari bagaimana ia memperlakukan buruhnya, maka dua puluh tahun perjalanan upah minimum Indonesia adalah cermin: retak, buram, penuh coretan kompromi, tapi tidak pernah benar-benar pecah.

1. Awal 2000-an: Dari KFM ke KHL. Saat Upah Menjadi Hak, Bukan Sekadar Tuna-Karya

Di awal 2000-an, pemerintah masih menghitung upah berdasarkan Kebutuhan Fisik Minimum (KFM), standar sangat sederhana yang bahkan tidak mempertimbangkan pendidikan dan kesehatan.

Namun tekanan buruh semakin kuat, terutama melalui gelombang aksi nasional 2001-2003, yang mendorong lahirnya konsep Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

Inilah fase pertama metamorfosis. Dimana narasi buruh bukan lagi dibayar murah asal hidup, tetapi dibayar layak sebagai manusia sejati seutuhnya.

KHL memperhitungkan:

•pangan,

•sandang,

•perumahan,

•pendidikan,

•kesehatan,

•transportasi,

•bahkan rekreasi minimal.

 

Masalah muncul sejak awal karena komponen KHL dihitung melalui survei pasar, namun jarang mencerminkan inflasi sesungguhnya.

Survei dilakukan oleh pemerintah daerah bersama dewan pengupahan, tetapi sering dikritik buruh karena:

•item yang dipilih tidak realistis,

•harga di lapangan lebih tinggi,

•frekuensi survei tidak memadai.

Buruh akhirnya memahami bahwa perjuangan upah tidak bisa hanya diserahkan pada survei dan birokrasi, tetapi harus melalui tekanan jalanan.

 

2. 2010-2013: Ledakan Aksi Upah dan Lahirnya Standar Baru Gerakan Buruh

Pada 2012-2013, Indonesia menyaksikan salah satu gelombang aksi buruh terbesar dalam sejarah.

Tuntutannya sederhana: upah minimum tidak mengikuti KHL, tetapi jauh di bawahnya. Di berbagai daerah, kenaikan drastis muncul:

•Jakarta naik lebih dari 40%,

•Bekasi dan Karawang melompat mengikuti industri manufaktur.

 

Bagi buruh, inilah kemenangan moral. Bagi pengusaha, ini adalah alarm. Bagi pemerintah, ini adalah sinyal bahwa sistem sedang retak.

Di fase inilah metamorfosis kedua terjadi: perjuangan upah tidak lagi di tingkat lokal (Daerah). Ia berubah menjadi fenomena nasional yang menentukan stabilitas industri manufaktur.

3. 2015-2019: Rumus Baru, Kontroversi Baru. Upah Dikunci Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi

Masuk era pemerintahan baru, pemerintah memperkenalkan formula upah minimum melalui PP 78 Tahun 2015.

Formula tersebut mengunci kenaikan upah pada:

inflasi + pertumbuhan ekonomi nasional

Di atas kertas, rumus ini disebut stabil dan pro-investasi. Akan tetapi, di lapangan, bagi buruh, ini berarti tidak peduli KHL naik, upah hanya naik mengikuti rumus yang pemerintah tentukan.

Protes pun meledak. Serikat pekerja menilai bahwa;

••formula menghapus ruang perundingan,

••upah berubah menjadi mekanisme teknokratis,

••negara semakin tunduk pada kepentingan pengusaha besar.

Inilah metamorfosis ketiga: perjuangan upah bergeser dari tuntutan ekonomi menjadi perlawanan terhadap regulasi.

4. 2020–2022: Omnibus Law Cipta Kerja, titik balik terkeras dalam dua dekade

Pandemi belum selesai, tetapi pemerintah menerbitkan UU Cipta Kerja, yang mengubah banyak pasal ketenagakerjaan, termasuk formula upah.

Dampaknya:

•Mekanisme KHL ditinggalkan,

•Daya tawar buruh menurun,

•Upah minimum makin sulit naik signifikan,

•Upah minimum sektoral dihapuskan di banyak daerah,

•Pemerintah daerah tidak lagi bebas menetapkan UMK tanpa persetujuan pusat.

Gelombang aksi pun terjadi, bahkan disebut sebagai aksi terbesar pascareformasi. Mahkamah Konstitusi kemudian menyatakan UU tersebut inkonstitusional bersyarat, namun pemerintah tetap menjalankan aturan turunan baru.

 

Metamorfosis keempat pun muncul: perjuangan upah memasuki ranah konstitusi dan peradilan. Sebuah arena yang tidak pernah dibayangkan buruh dua dekade lalu.

5. 2023-2025: Formula Baru, Masalah Lama dan Misteri Upah Minimum 2026

Setelah protes dan gugatan berkepanjangan, pemerintah memperkenalkan PP 51/2023, rumus baru yang memasukkan variabel:

••pertumbuhan ekonomi,

••inflasi,

••indeks tertentu,

••plus batasan rentang (alpha) yang kontroversial.

Namun drama lebih besar muncul menjelang 2026. Pada 21 November 2025, pemerintah seharusnya mengumumkan upah minimum 2026. Tetapi pengumuman tidak keluar.

Alasannya:

•Menunggu aturan turunan pasca putusan MK,

•Harmonisasi formula baru,

•Ketidakselarasan pusat dan daerah.

Bagi buruh, ini bukan sekadar keterlambatan. Ini adalah pertanda bahwa negara tidak lagi melihat tenggat upah sebagai hal sakral.

Metamorfosis kelima lahir: upah minimum kini bukan hanya arena perjuangan buruh, tetapi cermin kekacauan administrasi negara.

Investigasi terhadap pola kenaikan upah menunjukkan:

••Kenaikan upah hampir selalu di bawah kenaikan KHL,

••Komponen perumahan dan pendidikan paling tidak terkejar,

••Buruh masih mengandalkan lembur untuk hidup layak,

••Buruh lajang pun sering kali sulit menabung,

••Buruh berkeluarga hampir pasti mengalami defisit bulanan.

Artinya, dua dekade perubahan belum benar-benar menyentuh inti persoalan: upah layak harus didasarkan pada biaya hidup nyata, bukan kalkulasi politik.

Singkatnya, dua puluh tahun, perjuangan upah minimum tenyata masih seperti dulu. Keras, melelahkan, dan penuh drama.

Tetapi satu hal berubah secara fundamental. Buruh kini sadar bahwa perjuangan upah bukan sekadar menuntut angka, tetapi mempertahankan martabat.

Dan dalam pertarungan antara negara yang lamban, pengusaha yang agresif, serta buruh yang terus disudutkan, hanya satu kekuatan yang membuat metamorfosis tetap berlanjut yaitu Kesadaran bahwa hidup layak bukan hadiah, tetapi hak dan hak hanya dimenangkan melalui perjuangan.