Disparitas Penegakan Hukum antara Buruh dengan Pengusaha

Disparitas Penegakan Hukum antara Buruh dengan Pengusaha

Medan,KPonline, – Dalam sistem hubungan industrial di Indonesia, hukum semestinya menjadi alat untuk melindungi hak dan kewajiban antara buruh dan pengusaha secara adil. Namun realitasnya menunjukkan adanya disparitas penegakan hukum, perbedaan perlakuan antara buruh dan pengusaha.

Fenomena ini terlihat jelas dalam proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial, penindakan terhadap pelanggaran hukum, hingga implementasi putusan pengadilan.

1.Akses terhadap Keadilan

Secara umum kaum buruh memiliki keterbatasan sumber daya, baik pengetahuan hukum, finansial,

dan waktu. Ketika menghadapi pelanggaran hak, seperti upah di bawah ketentuan, PHK sepihak, atau tidak dibayarkannya pesangon, buruh harus melewati proses panjang, mediasi, perundingan, hingga sampai ke pengadilan hubungan industrial. Proses ini sering memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, sementara buruh kehilangan sumber penghidupannya.

Sebaliknya, pengusaha memiliki akses lebih luas terhadap kepastian hukum, mulai dari ketersediaan penasehat hukum, sumber dana yang cukup dan jaringan pada kekuasaan. Hal ini memberi posisi tawar yang jauh lebih kuat dalam setiap proses hukum.

2.Kecepatan dan Ketegasan Penindakan

Kasus yang melibatkan buruh, terutama yang dianggap melanggar hukum pidana ,seperti aksi mogok yang dituduh mengganggu ketertiban, atau tuduhan pengrusakan saat unjuk rasa, dan kasus pidana lainnya yang berhubungan dengan perusahaan, mendapat respons cepat dari aparat penegak hukum. Penangkapan, penahanan, hingga proses persidangan dapat berjalan kilat.

Tetapi ketika pengusaha melanggar hukum ketenagakerjaan, seperti tidak membayar upah sesuai dengan nilai upah minimum, mempekerjakan buruh tanpa perjanjian kerja yang sah, atau mempekerjakan buruh diluar dan melebihi jam kerja, penegakan hukumnya lambat, lebih sering berhenti ditengah jalan dengan alasan dari penegak hukum ‘kurang alat bukti” dan kalaupun proses hukumnya berlanjut hanya pada

tingkat administratif, jarang berujung hingga kepada sanksi pidana.

3 Aspek Regulasi dan Celah Hukum

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja, sebenarnya memuat sanksi pidana bagi pengusaha yang melanggar hak normatif buruh. Tetapi, pasal-pasal sanksi tersebut selalu diabaikan atau diinterpretasikan secara longgar. Sementara itu, pasal-pasal yang dapat menjerat buruh lebih mudah diterapkan karena prosedurnya jelas di ranah pidana umum.

4.Pengaruh Relasi Kuasa

Struktur ekonomi dan politik negeri ini kerap menempatkan pengusaha dalam posisi yang memiliki pengaruh terhadap pengambil kebijakan dan aparat penegak hukum. Akibatnya, terjadi bias penegakan hukum,dimana pelanggaran oleh buruh diproses tegas, sementara pelanggaran oleh pengusaha sering kali diselesaikan secara “persuasif” atau bahkan diabaikan.

5.Dampak terhadap Hubungan Industrial

Disparitas penegakan hukum ini menciptakan rasa ketidakadilan yang mendalam di kalangan buruh, memicu ketidakpercayaan terhadap institusi hukum, dan memperburuk hubungan industrial. Buruh menjadi skeptis terhadap janji perlindungan negara, sementara pengusaha merasa lebih “aman” untuk mengabaikan kewajiban hukum serta bebas untuk terus melakukan pelanggaran hukum.

Penegakan hukum yang timpang antara buruh dan pengusaha bukan sekadar persoalan teknis, tetapi mencerminkan masalah struktural dalam tata kelola hubungan industrial.

Diperlukan keberanian politik, reformasi penegakan hukum, dan penguatan kaum buruh bersama serikat buruh untuk memastikan hukum benar-benar menjadi pelindung bagi yang lemah, bukan sekadar instrumen kekuasaan bagi yang kuat. (Anto Bangun)