Diskusi Media KSPI di Kota Tua: Jika Kita Tak Berani Melawan, Kesejahteraan Hanya Mitos di Atas Kertas

Diskusi Media KSPI di Kota Tua: Jika Kita Tak Berani Melawan, Kesejahteraan Hanya Mitos di Atas Kertas
Suasana diskusi Media KSPI di Kota Tua, Jakarta | Foto by Ocha Hermawan

Jakarta, KPonline-Ada pertanyaan sederhana namun menampar logika kolektif kelas pekerja Indonesia. Apa gunanya menjadi manusia bila takut menentang kebusukan sistem yang menginjak masa depan kita sendiri? Pertanyaan ini kembali bergema di tengah kebijakan ketenagakerjaan pemerintah yang terus saja tidak berpihak. Mulai dari upah yang tak pernah mampu mengejar kebutuhan hidup layak, hingga betapa mudahnya hubungan kerja diputus.

Kenyataan pahit itu bukan lagi sekadar keluhan. Ia berubah menjadi ancaman nyata. Pekerja terus bekerja tanpa tahu arah masa depan, mencari nafkah tanpa kepastian, ingin hidup layak tetapi enggan berjuang, bangga sebagai tulang punggung keluarga tetapi gentar ketika diminta melawan sistem yang menindas mereka.

Lalu, bagaimana mungkin kesejahteraan bisa hadir bila semangat untuk mengubah keadaan pun semakin memudar?

Di tengah arus muram itulah dua pilar besar gerakan buruh Indonesia, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) menegaskan kembali komitmennya. Mereka tidak hanya mengkritisi kebijakan pemerintah yang kian menjauh dari nilai keadilan sosial, tetapi juga mengguncang kesadaran para pekerja. “Gerakan buruh tidak akan berarti apa-apa tanpa keberanian kolektif pekerja itu sendiri”.

KSPI dan KSBSI mengingatkan bahwa perjuangan tidak akan pernah tumbuh jika rakyat pekerja hanya sibuk mengeluh tanpa bergerak. Tidak ada perubahan yang lahir dari ketakutan. Tidak ada kesejahteraan yang turun dari langit ketika rakyat pekerja menerima penindasan sebagai kewajaran.

Serikat pekerja bukan sedang menyalahkan basisnya. Mereka menggugah hati, mengajak untuk bangun dari kelumpuhan mental, untuk menjadi kaum yang berani, berpendirian, dan punya nyali menentang tirani kebijakan.

Untuk itu, (Sabtu 6/12/2025) Media KSPI dan KSBSI menggelar diskusi. Namun ditempat yang berbeda. Media KSPI sendiri menggelar diskusi di kawasan Kota Tua Jakarta. Acara ini bukan sekadar temu wicara, melainkan bagian penting dari rangkaian agenda Social Media Capacity Building dan In-House Training, program yang dirancang untuk memperkuat daya gedor komunikasi digital gerakan buruh Indonesia.

Di era ketika opini publik ditentukan oleh narasi daring, keberpihakan pemerintah bisa dilawan dengan strategi komunikasi yang tajam, terstruktur, dan masif. KSPI dan KSBSI memahami bahwa kekuatan buruh bukan hanya pada jumlah, tetapi juga pada kemampuan menguasai ruang digital yang selama ini dimonopoli oleh kepentingan modal dan propaganda kekuasaan.

Diskusi ini membahas arah perjuangan organisasi ke depan. Bagaimana membangun keberanian kolektif, bagaimana menghidupkan kembali semangat perlawanan, dan bagaimana memastikan setiap pekerja tahu bahwa ketidakadilan tidak boleh dianggap sebagai takdir.

Perlu diingat, kebijakan ketenagakerjaan yang tidak berpihak tidak akan berubah dengan sendirinya. Upah layak tidak akan hadir bila pekerja diam. PHK massal tidak akan berkurang bila ketidakadilan terus dianggap biasa.

Pertanyaannya, “Apa gunanya menjadi manusia jika takut menentang kebusukan sistem yang menopang hidup kita?”

Serikat pekerja, melalui KSPI dan KSBSI, memilih jalan perlawanan. Mereka mengajak kelas pekerja untuk tidak hanya menjadi penonton, tetapi pelaku yang menentukan arah sejarahnya sendiri.

Sebab jika kita tidak berani bergerak hari ini, maka besok kita hanya akan mewarisi keterpurukan yang sama kepada anak-anak kita. Dan itu adalah bentuk kekalahan paling menyakitkan.

Jika rakyat pekerja ingin kesejahteraan yang nyata, tidak ada pilihan lain selain berani melawan. Karena perjuangan tidak pernah gagal. Yang ada hanya mereka yang berhenti memperjuangkannya.