Medan,KPonline, – Kaum buruh di negeri ini yang bekerja diberbagai perusahaan secara umum tidak mengetahui bahwa dipundaknya tidak hanya memikul beban biaya kebutuhan dasar pokok hidup dengan harga yang terus merangkak naik (mahal) dan harga pokok produksi (HPP) yang nilainya semakin melambung naik seiring dengan kebijakan pemerintah tentang kenaikan pajak dan bea-bea lainnya.
Selain kedua beban tersebut diatas ada beban lain yang jauh lebih kejam, dan lebih busuk, yakni “beban untuk kenikmatan para pejabat yang terdiri dari gaji dan berbagai tunjangan serta fasilitas lainnya.”
Para pejabat duduk di kursi empuk, berjas rapi, menebar senyum palsu di depan kamera, berbicara tentang “stabilitas ekonomi” dan “pertumbuhan nasional”, sementara tangan mereka sibuk merogoh kantong para buruh melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk kemudian dikorupsi.
Pajak dinaikkan, pungutan diperbanyak, izin dibuat rumit, semua agar ada celah untuk mereka menghisap darah rakyat terutama kaum buruh.
“Setiap kebijakan pemerintah yang lahir dan berhubungan langsung kepada naiknya tarif pajak dan bea-bea lainnya dan berhubungan langsung kepada perusahaan, maka semakin tambah beban dipundak buruh, karena setiap Rp 1 (satu rupiah) yang dikeluarkan perusahaan, biaya tersebut menjadi beban langsung produksi”
Artinya, di balik setiap kebijakan yang katanya demi kesejahteraan, ada tiket liburan yang harus dibayar, ada mobil mewah yang harus dikredit ada pesta dan jamuan yang harus digelar, dan semuanya dibayar mahal oleh rakyat (kaum buruh)
yang keringat, bekerja tanpa mengenal waktu.
Inilah wajah negara ketika kekuasaan bersekongkol dengan kerakusan, beban di pundak rakyat (buruh) bukan lagi hanya sekadar biaya untuk bertahan hidup, tapi juga biaya untuk memuaskan nafsu para penguasa yang sudah lupa arti amanah.
Mereka kenyang, rakyat lapar, mereka tertawa, rakyat terjerat. Dan selama kaum buruh diam, beban itu akan terus bertambah serta membunuh kaum buruh pelan-pelan.
Hampir semua pejabat tidak memahami bahwa semua kenikmatan yang dinikmatinya bersumber dari tetesan keringat dan air mata para buruh (rakyat), pantas saja akibat ketidak pahaman pejabat ini, saat kaum buruh datang untuk menuntut haknya khususnya tentang keadilan, mereka mengabaikannya bersembunyi dibalik status “kami pejabat berbeda dengan rakyat jelata” (Anto Bangun)