Purwakarta, KPonline-Pemerintah dijadwalkan mengumumkan penetapan upah minimum tahun 2026 pada akhir November. Di berbagai daerah, suasana menunggu itu terasa tegang.
Buruh berharap keputusan penetapan upah minimum tahun 2026 berpihak pada mereka, namun banyak yang juga khawatir akan pengulangan tahun-tahun sebelumnya ketika keputusan kenaikan upah jauh dari harapan.
Bagi buruh, pembahasan upah bukan sekadar angka di atas kertas. Di balik setiap rupiah ada cerita kehidupan nyata. Seperti yang dialami Rudi Hartono, pekerja pabrik komponen otomotif di Purwakarta. Ia telah bekerja selama 12 tahun dengan status tetap.
Rudi menuturkan, gajinya saat ini nyaris tak cukup untuk menutup kebutuhan keluarga kecilnya. Ia tinggal di rumah kontrakan bersama istri dan dua anak. “Anak saya satu sudah SMA, satu lagi SMP. Setiap bulan biaya sekolah, listrik, makan, dan transportasi bisa habis lebih dari 5 juta rupiah. Sementara gaji bersih saya sekitar 5,2 juta. Kalau istri tidak bantu jualan kecil-kecilan, pasti tidak cukup,” ucapnya.
Cerita seperti Rudi bukan hal langka. Data dari BPS (Badan Pusat Statistik) menunjukkan bahwa pada 2025, tingkat inflasi nasional mencapai 4,1 persen, namun inflasi pangan lebih tinggi, yaitu sekitar 6,5-7 persen. Artinya, kenaikan harga kebutuhan pokok lebih cepat dari kenaikan upah buruh.
Itulah sebabnya, serikat buruh yang selama ini dikenal sebagai wadah perjuangan rakyat pekerja dan salah satunya adalah Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) menuntut agar pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota berani memutuskan kenaikan upah minimum di angka yang realistis.
FSPMI menilai, kenaikan di bawah 7 persen tidak akan cukup menutupi kebutuhan dasar buruh dan keluarganya. Karena itu, FSPMI menuntut kenaikan upah minimum 2026 sebesar 8,5 hingga 10,5 persen.