Oleh: Nurul Avivah
Peringatan Hari Guru Nasional yang diselenggarakan setiap tahun dijadikan panggung rertorika sekaligus momentum untuk menegaskan betapa mulianya profesi seorang guru. Spanduk dipasang berjajar, seremoni disiapkan begitu megah dan kegiatan peringatan diatur sangat meriah. Semua itu seolah menjadi bukti bahwa pemerintah tidak lupa atas jasa-jasa guru.
Namun dibalik kemeriahan yang digembar-gemborkan sesungguhnya ada ironi besar yang tidak boleh disembunyikan; masih ada guru yang sedang memperjuangkan hak dan martabatnya sendiri ditengah euforia perayaan.
Guru Honorer yang non SK Dinas di kabupaten Pemalang adalah sekelompok yang kini telah menanggung pilu tersebut. Mereka tidak memiliki akses data dapodik (Data Pokok Pendidikan) sehingga terancam dirumahkan dan statusnya diubah menjadi menjadi Pegawai Tidak Tetap (PTT) pada Januari 2025. Perubahan status tersebut bukan hanya persoalan administratife namun menyangkut hilangnya masa depan dan karir sebagai seorang guru.
Dapodik adalah gerbang utama akses hak kesejahteraan guru. Jika seorang guru tidak terdata dalam Dapodik, maka berbagai hak dasar seperti; kesempatan mengikuti PPPK, mengikuti PPG hingga penerimaan intensif akan hilang begitu saja. Bahkan lebih ironisnya lagi, guru yang telah lulus PPG Prajanatan maupun guru PAI yang telah dinyatakan lulus PPG Kemenag tetap terancam tidak mendapatkan hak intensif dan dirumahkan, hanya karena belum memiliki dapodik. Ini menunjukkan bahwa selama enam tahun terakhir pemerintah daerah gagal menyelesaikan pekerjaan rumah yang sangat fundamental bagi pencerdas bangsa.
Menurut data DPRD Kabupaten Pemalang terdapat sekitar 900 guru honorer di sekolah negri yang hingga kini belum memiliki SK Dinas dan belum terdaftar dalam Dapodik. Angka tersebut bukan sekedar statistic. Namun disanalah ada wajah-wajah yang setiap hari semangat meskipun perih tetap membimbing anak didiknya didepan kelas dan berusaha mencerdaskan generasi penerus bangsa, namun tidak diakui dalam sistem sebagai guru yang sah.
Sungguh ini merupakan tamparan keras pada momen Hari Guru Nasional 2025. Bagaimana mungkin pemerintah mengaku menghormati martabat guru sementara hak-hak kami masih digantung? Bagaimana slogan “Bergerak Bersama Mewujudkan Merdeka Belajar” dapat bermakna jika keberadaan guru saja belum benar-benar Merdeka untuk diakui? Kami sebagai guru tidak meminta Istimewa. Kami hanya ingin diperlakukan layak yakni diakui, dihargai dan diberikan hak yang yang telah kami perjuangkan dan dedikasikan bertahun-tahun. Karena tanpa guru tidak akan pernah ada perayaan apapun, dan tidak aka nada generasi bangsa yang mampu menjunjung tinggi peradaban.
Hari Guru Nasional seharusnya bukan hanya menjadi perayaan formal melainkan cermin untuk menilai sejauh mana konstitusional dan pemerintah daerah benar-benar menempatkan martabat guru pada posisi terhormat. Sudah saatnya Pemkab Pemalang bersikap tegas, hadir menyelesaikan persoalan, dan tidak lagi membiarkan guru berjuang sendirian ditanah kelahirannya sendiri. Ketika martabat guru direndahkan sejatinya yang hancur adalah masa depan bangsa.