Data yang Hilang, Identitas yang Rapuh

Data yang Hilang, Identitas yang Rapuh
Rusmiatun, Vice Presiden Data Base FSPMI

Jakarta KPonline-Di era ketika data menjadi mata uang baru kekuasaan, sebagian organisasi masih berjalan tanpa peta. Tanpa arah, tanpa basis, tanpa fondasi yang kokoh. Ironisnya, organisasi besar yang lahir dari semangat kolektif justru bisa tersesat karena satu hal sederhana yang sering diabaikan, yaitu database.

Bagaimana mungkin organisasi bicara soal perubahan besar, jika data anggotanya saja masih berserakan di kertas, spreadsheet usang, atau bahkan sekadar ingatan pengurus lama yang sudah tidak aktif?

Rusmiatun, vice presiden database Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) dalam pernyataannya kepada Media Perjoeangan (9/11), menegaskan secara gamblang:

“Database bukan hanya kumpulan data, tetapi alat strategis untuk pengambilan keputusan berbasis fakta. Dengan data yang valid dan terbarui, organisasi bisa memetakan potensi anggota dan menentukan arah kebijakan secara tepat.”

Sebuah pernyataan sederhana, namun mengguncang. Karena faktanya, sampai hari ini progress pengumpulan data masih jauh dari kata tuntas. Dari total sekitar 180 ribu anggota, baru 88 ribu yang masuk dalam sistem. Artinya, lebih dari separuh kekuatan organisasi masih mengambang di udara, tak terdeteksi, tak tercatat, dan nyaris tak punya jejak digital.

Banyak pengurus, baik di tingkat pusat (PP) maupun cabang (PC) dan unit kerja (PUK), belum memahami bahwa database bukan urusan teknis, melainkan urusan eksistensi organisasi.

Tanpa data, organisasi hanya hidup dari retorika. Ia kehilangan kemampuan membaca dirinya sendiri: berapa jumlah anggota aktif, di mana potensi kader kuat, bagaimana efektivitas program, dan seberapa besar aset yang dimiliki.

Tanpa database, organisasi ibarat tubuh tanpa sistem saraf — besar, tapi lumpuh; hidup, tapi tak tahu ke mana harus melangkah.

Rusmiatun menegaskan, sebagian daerah memang sudah mulai aktif melakukan pelatihan dan input data. Ini pertanda bahwa ada kesadaran baru yang tumbuh: bahwa masa depan organisasi tak bisa lagi digerakkan oleh kebiasaan lama yang manual dan serampangan.
Namun jalan masih panjang. Komitmen sebagian belum cukup menjadi kekuatan kolektif.

Bayangkan menjelang Munas dan Kongres yang merupakan dua forum tertinggi dalam menentukan arah organisasi, sampai saat ini panitia kesulitan memastikan keabsahan peserta.

Siapa yang berhak hadir? Berapa jumlah suara sah dari tiap daerah? Apakah representasi sesuai dengan struktur? Semua itu tidak bisa dijawab tanpa database nasional yang valid dan terintegrasi.

“Keberhasilan Munas dan Kongres di masa depan sangat bergantung pada keberhasilan membangun database yang kuat sejak sekarang,” ujar Rusmiatun.
Tanpa data yang solid, semua keputusan bisa kehilangan dasar hukum dan moralnya. Munas bisa gaduh, kongres bisa dipertanyakan. Karena legitimasi organisasi hanya sekuat akurasi datanya.

Di tengah upaya membangun sistem ini, ternyata, Media Perdjoeangan salah satu pilar FSPMI memegang peran vital. Mereka adalah jembatan antara DPP dan struktur lapangan.

Bila MP gagal berfungsi, maka arus informasi terhenti di tengah jalan dan proyek database tinggal jadi laporan administratif yang tidak berdenyut.

Rusmiatun menyebut, dengan sinergi yang baik, program database bisa berubah dari sekadar proyek administratif menjadi gerakan modernisasi tata kelola organisasi.
Ini bukan pekerjaan satu departemen, tapi perjuangan bersama untuk memastikan organisasi melangkah ke era digital tanpa kehilangan jiwanya.

Kita bisa menulis ratusan rencana strategis, menggelar banyak rapat, atau menuntut perubahan besar. Namun semua itu hanya omong kosong jika data tak diperkuat.

Krisis data sejatinya adalah krisis kepemimpinan. Ketika mereka yang di atas tak lagi memberi contoh komitmen, dan mereka yang di bawah kehilangan arah kerja.

Tanpa basis data, organisasi tak bisa menilai kinerjanya, tak bisa membuat kebijakan berbasis bukti, dan akhirnya tak bisa dipercaya publik.
Transparansi bukan dimulai dari laporan tahunan, tapi dari data yang jujur, terbuka, dan dapat diakses oleh semua elemen organisasi.

88 ribu data yang sudah masuk seharusnya bukan bahan untuk berbangga. Itu alarm keras bahwa separuh kekuatan organisasi masih hilang.

Jika dibiarkan, organisasi bisa kehilangan kendali atas anggotanya sendiri. Tak ada data, tak ada suara; tak ada suara, tak ada arah.

Kita sering bicara soal perjuangan, pengorbanan, dan solidaritas. Tapi solidaritas sejati juga berarti mau meluangkan waktu untuk mencatat, mendata, dan menata.
Karena data bukan sekadar angka di layar komputer. Ia adalah identitas kolektif yang menentukan seberapa besar pengaruh dan daya tawar organisasi di hadapan dunia luar.

Dengan bahasa lain, Gerakan buruh tidak akan berhasil hanya dengan teknologi. Ia butuh kesadaran politik di setiap tingkat struktur organisasi bahwa data adalah kekuasaan.

Yang punya data, menguasai arah. Yang tak punya, hanya jadi penonton dalam panggung sejarahnya sendiri. Dan tak ada perubahan besar tanpa disiplin kecil.

Memasukkan data anggota mungkin tampak sepele, tapi di sanalah masa depan organisasi dipertaruhkan.
Tanpa database yang solid, semua slogan tinggal suara kosong di udara.

Organisasi besar tidak runtuh karena musuh dari luar. Ia runtuh karena kelalaian di dalam, dimana saat anggotanya sendiri lupa mencatat siapa mereka dan untuk apa mereka berdiri.

Database bukan sekadar alat. Ia adalah cermin. Dan dari cermin itu, kini organisasi dipaksa menatap dirinya sendiri. Apakah masih layak disebut kuat, atau justru tengah kehilangan wajahnya.