Jakarta, KPonline – Baru-baru ini, Kementerian Perindustrian Republik Indonesia (Kemenperin RI) merilis data serapan tenaga kerja pada semester I 2025 yang mencapai 303 ribu orang. Angka ini disebut-sebut lebih besar dari jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) pada periode yang sama.
Menanggapi hal ini, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyatakan, data tersebut patut diduga hanya bersifat “asal bapak senang” dan politis. Menurutnya, publik seolah diberi kesan bahwa kondisi ketenagakerjaan di Indonesia baik-baik saja, padahal pada Januari–Juni 2025 gelombang PHK besar-besaran justru menghantam sektor riil, terutama di industri tekstil, garmen, elektronik, komponen elektronik, ritel, perdagangan mal, perhotelan, dan sektor padat karya lainnya.
KSPI menilai, ada sejumlah alasan kuat mengapa data Kemenperin perlu dipertanyakan:
Pertama, Tidak Transparan dan Tidak Rinci
Kemenperin tidak mempublikasikan data secara terperinci: jenis industri, nama perusahaan, jumlah serapan tenaga kerja, status formal atau informal, dan lokasi penyerapan tenaga kerja tidak dijelaskan. Tanpa data ini, publik sulit memverifikasi kebenaran angka 303 ribu tersebut.
Kedua, Bertolak Belakang dengan Data BPJS Ketenagakerjaan
Dalam periode yang sama, BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) justru melaporkan penurunan jumlah peserta akibat PHK, yang diikuti dengan pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) dan penerimaan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). “Jika benar ada 303 ribu pekerja baru di sektor formal, seharusnya jumlah peserta BPJS TK bertambah. Faktanya justru menurun. Sungguh data yang aneh,” tegas Said Iqbal.
Ketiga, Kemungkinan Mencampur Data Sektor Informal
KSPI menduga Kemenperin menggabungkan pekerja informal—seperti pengemudi ojek online, pekerja dapur restoran cepat saji, pekerja paruh waktu, atau pekerja platform digital—ke dalam angka serapan tenaga kerja. Padahal, kelompok ini umumnya tidak memiliki perlindungan sosial memadai dan sering dibayar di bawah upah minimum. Jika benar demikian, maka data ini bersifat bias dan menyesatkan.
Keemmpat, Definisi “Bekerja” yang Bias
Bila Kemenperin menggunakan definisi Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengategorikan seseorang sebagai “bekerja” hanya dengan satu jam kerja dalam seminggu, maka angka 303 ribu tersebut tidak mencerminkan kualitas lapangan kerja yang sesungguhnya.
Kelima, Fakta di Lapangan Tidak Mendukung
Fenomena “job fair” di berbagai daerah, seperti di Bekasi dan Cianjur, menunjukkan kerumunan besar pencari kerja dan sering kali berujung ricuh. Tingkat penyerapan kerja dari “job fair” ini diperkirakan kurang dari 5% dari jumlah pencari kerja, jauh dari kesan lapangan kerja yang terbuka luas.
Keenam, Investasi Industri Tidak Instan Menyerap Tenaga Kerja
Memang ada investasi industri sepatu dari luar negeri yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, namun perekrutan dilakukan bertahap dalam 3–5 tahun. Tidak mungkin dalam satu semester langsung menyerap puluhan ribu pekerja karena proses pembangunan pabrik dan instalasi mesin memakan waktu.
KSPI menegaskan, pemerintah harus menyajikan data ketenagakerjaan secara transparan, terukur, dan akurat. Publik berhak mengetahui kondisi riil pasar kerja tanpa bias atau manipulasi angka yang hanya menciptakan ilusi seolah-olah lapangan kerja melimpah, sementara di lapangan, jutaan buruh justru kehilangan pekerjaan dan sulit mendapatkan penghidupan layak.