Jakarta, KPonline – Usai menjadi bagian dari kegiatan “Capacity Building and Awareness Program to Improve the Knowledge and Skills of the Members and Leaders to the Just Energy Transition” di Surabaya pada 16 September 2025, malam harinya saya langsung naik kereta menuju Yogyakarta. Keesokan paginya, 17 September 2025, saya dijadwalkan menjadi narasumber pada sesi pertama dalam kegiatan serupa yang menghadirkan para perwakilan dari Serikat Pekerja PLN, PP-IP, dan SPNP.
Dalam sesi pertama, saya mengajak peserta membayangkan siapa yang paling terdampak ketika sistem energi kita berubah secara besar-besaran. Jawabannya adalah para pekerja.
Satu hal yang harus kita sadari, transisi energi tidak hanya berarti mengganti pembangkit batu bara dengan energi terbarukan, tetapi juga akan mengubah struktur pasar kerja secara fundamental. Jenis pekerjaan lama akan hilang, pekerjaan baru bermunculan, dan pola hubungan kerja ikut berubah. Bila serikat pekerja bersikap pasif, seluruh proses itu akan dikendalikan sepenuhnya oleh pengusaha dan pemerintah tanpa suara pekerja.
Itulah kenapa, serikat pekerja harus menempatkan diri di garis depan dalam isu ini karena mereka adalah garda perlindungan hak-hak pekerja dan masyarakat luas. Ini sejalan dengan amanat konstitusi melalui Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 yang menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Listrik jelas termasuk di dalamnya, dan tidak boleh jatuh ke tangan mekanisme pasar. Namun, dalam beberapa kebijakan transisi energi yang sedang berlangsung, saya melihat kecenderungan kuat menuju privatisasi. Jika ini dibiarkan, transisi energi akan berubah menjadi jalan pintas menuju komersialisasi energi, bukan keadilan sosial.
Itulah sebabnya saya menekankan pentingnya memperkuat kapasitas serikat pekerja. Mereka harus dibekali pemahaman agar mampu mengkritisi setiap kebijakan transisi energi, mengawal arah perubahannya, dan memastikan tidak ada pekerja yang ditinggalkan. Di sini, peserta diajak untuk membayangkan masa depan energi yang dikelola secara publik (Public Pathway), sebuah masa depan di mana energi bersih bisa diakses secara murah dan adil, dikelola negara, serta menjamin perlindungan sosial bagi pekerja yang terdampak.
Di sinilah pentingnya. Bahwa transisi energi yang adil bukan hanya soal teknologi, tetapi tentang keadilan sosial: adil bagi pekerja, terjangkau bagi masyarakat, dikelola untuk kepentingan publik, dan aman bagi lingkungan serta komunitas terdampak.
Sesi-sesi berikutnya dilanjutkan oleh Sean Sweeney dari Trade Unions for Energy Democracy (TUED), yang mengajak para peserta memberikan masukan terhadap kertas posisi Just Energy Transition Jalur Publik (Article 33 Scenario) yang telah diluncurkan pada Juni 2025 di Jakarta. Saya senang melihat antusiasme peserta, terutama para pekerja muda dan perempuan yang jumlahnya cukup banyak. Kehadiran mereka menjadi sinyal bahwa isu transisi energi kini mulai menarik perhatian lintas generasi dalam gerakan serikat pekerja. Diskusi berjalan hangat, penuh pertukaran gagasan mulai dari peluang pekerjaan baru, risiko kehilangan pekerjaan, hingga strategi advokasi agar layanan listrik tetap berada di bawah kendali publik.
Di sini, serikat pekerja sektor ketenagalistrikan memiliki peran penting. Ini adalah sektor yang menghubungkan hari ini dan masa depan, karena tidak ada industri yang tidak bergantung pada listrik. Jika transisi ini gagal dikelola secara adil, dampaknya akan meluas dan meninggalkan banyak pekerja.
Di Yogyakarta, sebagaimana sebelumnya di Surabaya, saya melihat secercah harapan. Serikat pekerja mulai menempatkan isu transisi energi dalam kerangka perjuangan mereka, bukan sekadar isu lingkungan, tetapi sebagai bagian dari perjuangan kelas pekerja untuk keadilan sosial, kedaulatan energi, dan perlindungan atas masa depan kerja. Saya pulang dari forum itu dengan keyakinan bahwa pekerja bisa dan harus menjadi pelaku utama dalam membentuk arah transisi energi di Indonesia.
Penulis: Kahar S. Cahyono, Wakil Presiden KSPI dan FSPMI