Purwakarta, KPonljne – Fenomena “Rojali” (Rombongan Jarang Beli) dan “Rohana” (Rombongan Hanya Nanya) telah menjadi cerminan nyata pelemahan daya beli masyarakat Indonesia. Istilah ini viral di media sosial, menggambarkan pengunjung mal yang hanya nongkrong atau bertanya tanpa berbelanja.
Menurut Katadata.co.id, fenomena ini mencerminkan adaptasi masyarakat terhadap kondisi ekonomi yang menantang, dengan penurunan omzet ritel meskipun kunjungan mal meningkat. Data Bank Indonesia menunjukkan pertumbuhan Indeks Penjualan Riil (IPR) yang lemah, hanya 0,3-2,6% pada Januari-Juni 2025.Fenomena ini bukan hanya soal perilaku konsumen, tetapi juga sinyal krisis sosial-ekonomi yang lebih dalam.
Wahyu Hidayat, pengurus Exco Partai Buruh dan ketua pimpinan cabang Serikat Pekerja Automotif Mesin dan Komponen (SPAMK) Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), menyoroti disparitas upah sebagai akar masalah. “Disparitas upah menciptakan luka sosial dan ekonomi yang mengerikan,” ujarnya.
Ia menyebutkan dampak seperti ketimpangan pendapatan yang memperlebar Indeks Gini, migrasi tenaga kerja yang menyebabkan _brain drain_, relokasi industri yang meningkatkan pengangguran, dan efek _disemployment_ akibat kenaikan upah minimum yang tidak seimbang. Selain itu, ia menyoroti “korosi sosial” seperti budaya suap untuk melamar kerja sekalipun ke bank emok, erosi nilai sosial, dan persaingan antar-daerah yang memicu “race to the bottom” demi investasi.
Wahyu menegaskan bahwa pekerja yang berjuang mempertahankan daya beli sering disalahkan sebagai serakah dan tak bersyukur, padahal mereka terjebak dalam sistem yang tidak adil. “Bagaimana kita bisa mencapai Indonesia Emas 2045 jika ketimpangan ini terus berlanjut?” tanyanya.
Untuk mengatasi masalah ini, FSPMI Jawa Barat akan menggelar workshop pengupahan pada 14-15 Agustus 2025, bertujuan merumuskan formula pengupahan yang adil. Draf UU Ketenagakerjaan juga telah disiapkan untuk memperbaiki struktur pengupahan dan melindungi hak pekerja.DPR pun mulai melihat fenomena Rojali dan Rohana sebagai sinyal bahaya. Anggota Komisi XI DPR, Ahmad Najib Qodratullah, meminta pemerintah mengevaluasi pelemahan daya beli.
Psikolog Kasandra Putranto menambahkan bahwa fenomena ini juga mencerminkan kebutuhan sosial dan aktualisasi diri, di mana mal menjadi ruang publik untuk refreshing di tengah keterbatasan ekonomi. Pemerintah dan pelaku usaha perlu berinovasi. Pengelola mal diminta menciptakan pengalaman interaktif untuk mendorong transaksi, sementara pemerintah harus memperkuat kebijakan yang mendukung upah layak, penghapusan outsourcing, maupun konsumsi rumah tangga. Dengan langkah konkret seperti workshop FSPMI dan draf UU Ketenagakerjaan, semoga Indonesia dapat kembali ke jalur menuju cita-cita Indonesia Emas 2045.