Surabaya,KPonline – Pada tahun 2008, di tengah deru mesin-mesin pabrik dan peluh para buruh yang tak pernah lelah, seorang pria bernama Slamet Raharjo menapakkan langkahnya untuk pertama kali dalam dunia pergerakan.
Ia bergabung dengan serikat pekerja independen di tempatnya bekerja, bukan karena ajakan siapa-siapa, melainkan karena nurani yang pelan-pelan terbangun oleh rasa ingin tahu dan keprihatinan.
Saat itu, serikat hanyalah bayangan samar: tidak ada pelatihan, tidak ada penjelasan, hanya sekumpulan rekan kerja yang berkumpul dan menuntut hak.
Gerakan itu masih mentah, bagaikan bara yang belum jadi api. Tapi Slamet, meski belum memahami makna sejati perjuangan, tetap berdiri di antara mereka.
Lalu tibalah tahun 2010, tahun di mana Slamet mengenal Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI). Dari sanalah cahaya mulai menyusup.
Ia dan rekan-rekannya mengalihkan afiliasi dari serikat independen ke federasi.
Di sinilah pintu-pintu pengetahuan mulai terbuka. Ia mulai memahami bahwa perjuangan tidak hanya soal upah dan jam kerja, tetapi tentang martabat manusia.
Dan puncaknya, di tahun 2011, ia turut dalam aksi besar menuntut Jaminan Sosial Nasional, sebuah perjuangan yang bukan hanya untuk buruh, tapi untuk rakyat Indonesia seluruhnya.
Bentrok dengan aparat menjadi bagian dari sejarahnya.
Tetapi dari bentrok itu pula, ia paham: perjuangan serikat bukan hanya soal pabrik, melainkan soal negeri.
Dengan semangat yang kian menyala, Slamet dipercaya pimpinan unit kerja untuk mengikuti pelatihan.
Ia mengakui, betapa dirinya kala itu penuh kekurangan: tak tahu apa itu sektor, apa itu federasi, bahkan tak mengenal istilah konfederasi. Tapi dalam pelatihan singkat, satu hari dua malam, ia menemukan dunia yang selama ini tak terlihat.
Dunia persahabatan, pertukaran pikiran, dan perjuangan yang berdasar pada ilmu.
Tahun demi tahun berlalu. Pada penghujung 2014, ia akhirnya benar-benar menyadari: perjuangan ini bukan hanya tentang dirinya, tapi tentang memberi manfaat bagi sesama.
Istrinya, keluarganya, bukan penghalang, mereka adalah pelita, motivasi, dan kekuatan yang mengizinkannya untuk tetap berjalan, meski seringkali harus meninggalkan rumah demi rapat, konsolidasi, atau aksi.
Tahun 2015, Slamet memikul amanah sebagai pimpinan. Tiga periode—sembilan tahun penuh peluh, luka, dan kehilangan.
Rekan-rekan yang satu per satu mundur. Anggota yang pergi. Tapi ia tetap berdiri. Karena baginya, serikat adalah soal kesejahteraan, soal memberi manfaat, soal menyalakan lilin bagi yang lain, meski dirinya terbakar.
Ia paham, tak mudah membangun kesadaran. Banyak pekerja hanya melihat serikat sebagai alat memenuhi keinginan pribadi. Mereka tak mengerti bahwa kekuatan serikat adalah kekuatan kolektif. Slamet tak menyerah. Ia terus menjelaskan, terus meyakinkan.
Dalam perjalanannya, ia menemukan kekuatan dalam kebersamaan. Banyaknya kawan, banyaknya sahabat, itulah yang membuat setiap beban terasa lebih ringan.
Dalam keyakinan agamanya pun, ia menemukan sandaran: “Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.”
Sebagai pengurus serikat, Slamet tak menerima bayaran. Tapi ia menerima sesuatu yang lebih bernilai: rasa percaya, solidaritas, dan tujuan hidup yang lebih luas dari sekadar bekerja demi upah.
Tahun 2025 pun tiba.
Slamet masih berdiri, masih bersuara. Ia masih seorang pekerja, tetapi juga seorang pembela. Habis kerja, ia audiensi. Habis kerja, ia advokasi. Habis kerja, ia demonstrasi.
Ia menuntut keadilan, menantang efisiensi yang dijadikan dalih pemutusan hubungan kerja. Ia tahu, nasib buruh tak bisa dibiarkan mengambang. Harus ada yang bersuara, harus ada yang melawan.
Dengan berserikat, buruh bisa berunding. Dengan berserikat, buruh bisa membuat perjanjian. Dengan berserikat, buruh bisa membela. Dengan berserikat, buruh punya martabat.
Slamet bukan hanya nama. Ia adalah lambang semangat yang tak padam. Ia adalah gambaran dari tekad yang tak surut, bahkan ketika peluh dan luka menjadi bayaran.
Ia mengajarkan bahwa berserikat bukan hanya jalan perlawanan, tetapi jalan kehidupan.
Tak semua perjuangan memiliki panggung. Tak semua pahlawan mengenakan seragam. Ada yang berjuang dalam debu jalanan, dalam bau keringat, dalam dentuman orasi dan pekikan sirene. Di situlah Slamet Raharjo berdiri, di antara bayang gas air mata dan suara hati yang tak pernah padam.
Tahun-tahun antara 2010 hingga 2015 adalah tahun-tahun bara. Bukan karena musim kemarau, tapi karena keadilan yang tak kunjung turun hujan.
Perjuangan upah yang bagi sebagian buruh hanya sebaris angka di slip gaji, bagi Slamet adalah perjalanan berdarah dan berair mata. Banyak yang tak tahu, bahwa angka yang mereka terima itu bukan hadiah, melainkan hasil dari tubuh-tubuh yang rela bermalam di aspal dan dada-dada yang menahan sesak dari gas mata.
Grahadi menjadi saksi. Gedung megah itu pernah menjadi tempat berlindung para pekerja yang tak pulang, bukan karena lupa rumah, tapi karena menginap demi hak yang seharusnya tak perlu diminta.
Dan di sana pula mereka dihadang: oleh barikade aparat, oleh semburan water cannon, oleh tudingan masyarakat yang tak mengerti, dan kadang lebih menyakitkan oleh sesama buruh yang hanya tahu menikmati hasil tanpa mau menyentuh bara perjuangan.
Masyarakat mencibir, pekerja lain hanya ikut saat hasil sudah diumumkan. Tapi tak tahu bahwa di balik kenaikan itu, ada nyeri di betis karena berjam-jam berdiri, ada suara serak karena berorasi dalam panas, ada rasa was-was ketika serikat dianggap musuh negara.
Slamet paham, perjuangan upah bukan sekadar soal nominal. Itu soal harga diri. Soal keseimbangan antara tenaga yang dikerahkan dan kehidupan yang layak di rumah. Tapi apa daya, tak semua melihat dengan mata yang sama. Banyak yang memilih diam, menunduk, takut kehilangan pekerjaan. Takut dianggap pembangkang.
Namun Slamet tak takut.
Ia tahu bahwa hak untuk berserikat telah dijamin oleh negara UU Nomor 21 Tahun 2000 berdiri sebagai pilar yang sah. Tapi mengapa masih banyak yang gemetar ketika hendak bersuara? Mengapa rasa takut masih menjadi rantai tak kasat mata yang mengikat pergelangan tangan para buruh?
Ia sering berkata dalam hati, “Jangan tangisi nasibmu jika kau tak berani menggenggam perubahan.” Karena pekerja bukan hanya mereka yang datang, bekerja, lalu pulang. Pekerja adalah mereka yang sadar bahwa dirinya adalah bagian dari kekuatan besar, kekuatan kelas yang “jika bersatu” bisa mengguncang tembok paling kokoh sekalipun.
Slamet tahu, membangun kesadaran kelas bukan perkara satu malam. Tak semua pekerja sadar bahwa dirinya sedang terjajah oleh sistem yang membisu. Tapi perjuangan, seperti api kecil, akan menyala selama ada yang menjaga. Dan Slamet adalah penjaga itu.
Ia tak mengharap dikenang. Ia hanya ingin, suatu hari, tak ada lagi pekerja yang harus bermalam di depan gedung pemerintahan demi secuil keadilan. Ia ingin, setiap upah yang diterima adalah hasil dari penghormatan, bukan permintaan. Dan ia percaya: selama ada yang berani berserikat, keadilan tak akan jadi mitos. (Natalia)
