Dari Gedung Sate ke Galuh Pakuan, Kekacauan UMSK 2026 Jawa Barat Kian Terbuka

Dari Gedung Sate ke Galuh Pakuan, Kekacauan UMSK 2026 Jawa Barat Kian Terbuka

Purwakarta, KPonline-Kekisruhan penetapan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) 2026 di Jawa Barat kian menyeruak ke permukaan.

Kekisruhan terjadi setelah 19 kabupaten/kota yang sebelumnya telah merekomendasikan UMSK, sebanyak 7 kabupaten/kota UMSK-nya dihapus total (Tidak mendapatkan SK Gubernur). Diantaranya adalah Kabupaten Purwakarta. Sementara 12 kabupaten/kota lainnya mengalami pemangkasan nilai dan sektor secara signifikan.

Hal itu pun, kini menjelma menjadi bola salju polemik. Hingga akhirnya dibahas dalam suatu forum di Galuh Pakuan, Subang, pada Sabtu (27/12/2025). Dan Kekacauan sikap pemerintah atas kebijakan ini pun memperlihatkan satu wajah yang menyeruak ke permukaan, dimana ketidaksinkronan pengambilan keputusan dan kepanikan para pejabat daerah.

Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Purwakarta, Fuad BM, menyebut kisruh UMSK 2026 dan Purwakarta dicoret rekomendasinya. Sehingga tidak di SK-kan. Itu bukan sekadar persoalan administratif, melainkan bukti nyata gagalnya sistem koordinasi pemerintahan dalam melindungi hak normatif buruh.

“Drama UMSK yang raib di Gedung Sate ini belum selesai. Sekarang dibahas lagi di Galuh Pakuan Subang. Ini menunjukkan ada yang salah sejak awal dalam proses pengambilan keputusan,” ujar Fuad BM.

Menurutnya, Dalih demi dalih pun bermunculan. Mulai dari alasan tidak adanya pencantuman angka nominal dalam SK, hingga klaim bahwa UMSK hanya memuat sektor tanpa nilai. Namun bantahan datang dari berbagai pihak, termasuk serikat pekerja dari unsur Dewan Pengupahan, yang menegaskan bahwa redaksional rekomendasi daerah sejatinya telah jelas dan sah.

Ironisnya, Fuad mengatakan bahwa para pejabat yang sejak awal terlibat. Mulai dari bupati hingga kepala dinas tenaga kerja baru sibuk memberikan penjelasan setelah isu ini viral dan menjadi konsumsi publik. Penjelasan yang seharusnya dipahami dan diselesaikan sebelum SK ditetapkan, justru baru diraba-raba ketika tekanan massa dan sorotan publik menguat.

“Awalnya dianggap remeh. Sekarang mereka kelabakan sendiri,” kata Fuad.

Lebih lanjut, Fuad BM mengungkapkan bahwa Kisruh UMSK 2026 juga membuka luka lama relasi kekuasaan di Jawa Barat. “Banyak buruh menilai, para pejabat pengambil kebijakan terindikasi lebih peka terhadap kepentingan pengusaha bermodal besar, ketimbang jeritan buruh yang setiap bulan membayar pajak secara rutin, tanpa telat dan tanpa pengampunan,” ujarnya.

Di sisi lain, ungkap Fuad, buruh hanya memiliki dua senjata, yakni lobi terbatas dan aksi massa. Itu pun sering kali didramatisir di jalanan, distigmakan sebagai pengganggu ketertiban, sementara substansi tuntutannya dikesampingkan.

“Publik akhirnya menyaksikan secara telanjang carut-marut koordinasi sistem pemerintahan Jawa Barat, hanya dari satu isu bernama UMK dan UMSK. Padahal, itu baru satu masalah. Belum menyentuh persoalan lain yang jauh lebih kompleks,” jelasnya.

Kasus UMSK 2026 menjadi potret buram bagaimana kebijakan strategis yang menyangkut hajat hidup pekerja tidak ditopang oleh sistem baku, transparan, dan akuntabel. Keputusan diambil tanpa kehati-hatian, lalu diperbaiki dengan tambal sulam narasi ketika publik bereaksi keras.

Kondisi ini memperkuat kekhawatiran bahwa kebijakan ketenagakerjaan di Jawa Barat lebih reaktif daripada solutif, lebih sibuk memadamkan kegaduhan ketimbang mencegah kekacauan sejak awal.

Ia memastikan polemik ini tidak akan berhenti di ruang diskusi elite. Pengawalan kebijakan akan terus dilakukan serikat pekerja (FSPMI), baik melalui advokasi, konsolidasi organisasi, hingga aksi massa jika diperlukan.

“Selama kebijakan tidak berpihak pada rakyat pekerja, selama itu pula kami akan terus mengawal dan melawan,” tegas Fuad BM.