Di sebuah perusahaan besar, berdirilah sebuah serikat buruh yang menjadi benteng terakhir bagi pekerja. Di dalamnya, para pengurus memiliki peran penting: bukan hanya mengatur organisasi, tapi menjadi ujung tombak perjuangan. Salah satu serikat yang dikenal luas karena melahirkan pemimpin-pemimpin beridealisme adalah FSPMI—Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia. Dari rahim perjuangannya, lahir banyak tokoh yang berani, berintegritas, dan setia pada amanah anggota.
Namun, sejarah menunjukkan, menjadi pengurus serikat buruh tidak selalu berarti menjadi pejuang sejati. Banyak yang tergoda oleh fasilitas, jabatan, atau kenyamanan yang menyertainya. Sebelum seseorang memegang tongkat kepemimpinan, ada satu pertanyaan penting yang wajib ia tanyakan kepada dirinya sendiri:
“Apa kapasitasku sebagai pengurus serikat buruh?”
Pertanyaan itu membawa pada lima cermin kepribadian:
Pejuang Sejati
Mereka yang memiliki niat tulus, komitmen kokoh, dan keberanian berdiri di garda terdepan meski risiko besar menanti. Seorang pejuang sejati mengutamakan kepentingan anggota di atas segalanya, menjaga amanah dengan hati nurani yang bersih, dan tak pernah menjual perjuangan.
Penikmat Organisasi
Tipe ini muncul hanya ketika dana cair, fasilitas tersedia, dan perjuangan telah dimenangkan oleh orang lain. Mereka ikut bersorak saat kemenangan datang, padahal tak pernah berkeringat untuk meraihnya.
Pemanfaat Organisasi
Orang-orang ini menjadikan serikat sebagai kendaraan untuk ambisi pribadi. Mereka mengincar jabatan strategis demi keuntungan pribadi, dan lupa bahwa serikat lahir dari keringat dan air mata buruh tertindas.
Pengkhianat
Inilah sosok yang diam-diam menjual perjuangan, menukar kepentingan buruh demi keuntungan pribadi atau pengusaha, bahkan menikam dari belakang para pejuang tulus.
Pecundang
Mereka selalu punya alasan untuk tidak bergerak. Takut tekanan, nyaman di zona aman, dan berharap perubahan datang tanpa kontribusi nyata.
FSPMI mengajarkan bahwa menjadi pengurus serikat bukan hanya soal duduk di kursi kepemimpinan, tetapi soal berani memikul tanggung jawab moral dan sejarah. Seorang pemimpin harus beridealisme, memiliki integritas, dan setia pada janji perjuangan.
Pada akhirnya, sejarah akan mencatat, anggota akan menilai, dan nurani sendiri akan menuntut jawaban. Jika arah perjuanganmu telah melenceng, tak ada kata terlambat untuk kembali. Namun, jika memilih bertahan di jalur pengkhianatan, ingatlah: perjuangan buruh akan terus berjalan—dengan atau tanpamu.
Lebih baik mundur jika hanya akan merusak, dan beri ruang bagi mereka yang benar-benar layak memimpin. Sebab, waktu pada akhirnya akan menuntut pertanggungjawaban dari setiap langkah yang kita ambil.