Cerbung : Adit, ini Untukmu, Nak (BAB VI)

Cerbung : Adit, ini Untukmu, Nak (BAB VI)

Baca Sebelumnya 

BabVI

Tapi jalan pulang itu ternyata tak semulus yang kubayangkan.
Pabrik sedang bersiap menghadapi audit tahunan. Semua pekerja diminta lembur hampir setiap hari. Mandor menempelkan jadwal baru di papan pengumuman—namaku ada di baris pertama, dilingkari spidol merah.

“WAJIB LEMBUR – SHIFT AUDIT.”

Aku tak bisa menolak. Bahkan saat tubuhku mulai tak kuat dan wajah Adit terlihat makin lesu setiap pagi, aku tetap berangkat kerja. Kesehatan anakku semakin hari semakin merisaukan. Tapi di pabrik, tidak ada ruang untuk bicara tentang keluarga. Yang dihitung hanyalah jumlah output dan menit kerja.

Malam itu aku lembur. Suasana pabrik seperti kapal perang—mandor mondar-mandir, staf QA mondar-mandir, bos besar ikut keliling.

Pukul 21.47, saat aku sedang menjahit bagian terakhir dari tas bahan ekspor, ponselku bergetar dalam saku. Aku sempat ragu untuk membuka, karena tahu betul konsekuensinya. Tapi getaran itu terus berulang.

Dengan hati-hati aku mengintip layar: Bu Rani!

Aku langsung panik. Bu Rani tidak pernah menelpon malam-malam, kecuali sesuatu terjadi pada Adit. Dengan tangan gemetar, aku menjawab cepat. Suara di seberang terdengar tergesa dan panik.

“Rina… Adit pingsan! Tadi sempat kejang. Sekarang saya dan Pak Darto bawa dia ke klinik! Segera pulang!”

Dunia terasa berputar. Aku berdiri dari bangku kerjaku dan berlari ke arah mandor.

“Pak! Maaf… anak saya pingsan. Saya harus pulang sekarang juga!”

Tapi mandor hanya melotot. “Audit baru mulai! Semua orang di sini lembur! Kamu pikir kamu satu-satunya yang punya anak?”

“Ini darurat, Pak. Anak saya…”

“Satu kata lagi, saya potong gaji kamu tiga hari!”

Hatiku terbelah dua. Suara Bu Rani masih terngiang. Wajah Adit yang pucat tiba-tiba muncul dalam pikiranku. Aku tahu, jika aku tetap di sini, aku tak akan pernah memaafkan diriku sendiri.

Mataku mulai berkaca-kaca. “Pak, saya mohon…”

Tapi mandor berpaling, pura-pura tak mendengar. “Kembali ke tempat!”

Aku berdiri terpaku. Tubuhku gemetar. Dunia seperti menutup telinga pada jeritku. Tak ada rasa kemanusiaan. Tak ada empati. Hanya mesin. Dan aku bagian dari mesin itu.

Lalu entah dari mana datang keberanian itu. Aku tidak berpikir panjang. Aku berjalan cepat ke arah pintu belakang pabrik, melewati lorong mesin-mesin yang terus berdengung.

Seorang rekan kerja mencoba menahanku. “Rin! Mau ke mana? Gila kamu? Ini audit!”

Tapi aku hanya menoleh sambil berbisik lirih, “Anakku lebih penting.”

Dan aku lari.

Lari dengan seragam yang masih penuh guntingan benang. Lari dengan napas tersengal dan hati yang penuh doa. Di luar gerbang, aku naik ojek yang masih mangkal di depan warung kopi. “Ke Klinik Melati, Pak! Cepat!”

Sepanjang perjalanan, air mataku tak henti-hentinya jatuh. Aku tak tahu kondisi Adit sekarang. Aku tak tahu apakah aku masih sempat. Yang aku tahu hanya satu: aku tak boleh telat lagi.

Tidak kali ini.

Sesampainya di klinik, aku melihat Bu Rani berdiri di depan pintu dengan wajah cemas. Di dalam, Adit terbaring dengan selang oksigen di hidungnya.

Aku peluk dia erat, bahkan sebelum dokter sempat bicara. Tangannya dingin. Napasnya pelan. Dan saat matanya terbuka sedikit, dia hanya berbisik:

“Ma… jangan tinggalin Adit lagi…”

Tangis yang kutahan sejak pabrik akhirnya pecah malam itu. Di ruang sempit klinik, di bawah cahaya putih yang menusuk mata, aku hanya bisa memeluk anakku sambil mengucapkan kata yang sama berulang kali:

“Maaf… Maaf ya, Nak…”

****

Kata itu terus terulang dari mulutku sambil kupeluk tubuh kecil Adit yang dingin dan lemah. Tapi tak peduli berapa kali kuucapkan, rasanya tidak cukup untuk menebus semua waktu yang telah kulewatkan jauh darinya.

Malam itu, dokter di klinik memberikan penjelasan yang membuatku lemas.

“Ada indikasi komplikasi di paru-parunya, Bu Rina. Kami sarankan segera dirujuk ke rumah sakit besar. Ini sudah masuk tahap serius.”

Hatiku mencelos. Aku ingin menjerit. Tapi tak ada suara keluar. Aku hanya mengangguk pelan, lalu memeluk Adit lebih erat, seolah takut kehilangan walau hanya sedetik.

Pak Darto dan Bu Rani membantu kami membawa Adit ke Rumah Sakit Harapan. Di sepanjang perjalanan, aku hanya bisa menatap wajah anakku yang terbaring lemah di pangkuanku. Selang oksigen terpasang di hidungnya, dan napasnya pendek-pendek, seakan sedang berpacu dengan waktu.

Saat sampai di IGD, kami disambut oleh tim medis yang segera membawa Adit masuk ke ruang perawatan. Aku diminta menunggu di luar.

Dan di situlah aku duduk—sendiri, di bangku plastik rumah sakit yang dingin. Waktu rasanya berhenti. Lelahku tak terasa lagi. Semua hanya digantikan oleh kekhawatiran. Aku tak bisa menghindar dari kenyataan: aku sudah terlalu lama mengabaikannya demi pekerjaan yang bahkan tak pernah benar-benar menghargai keberadaanku.

Telepon genggamku berbunyi. Puluhan panggilan tak terjawab dan pesan masuk dari pabrik—dari mandor, dari HRD, bahkan dari rekan kerja. Semuanya menanyakan hal yang sama:

“Kamu kabur waktu audit?”
“Kamu tahu ini bisa kena pemecatan langsung, kan?”
“HRD minta kamu ke kantor besok jam 08.00.”

Kupandangi layar itu. Tangan ini gemetar. Tapi bukan karena takut. Justru untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tidak merasa gentar.

Aku tidak kabur!
Aku hanya pulang!

Aku matikan ponsel itu. Lalu kubuka tas kecilku. Di dalamnya, surat pengunduran diri yang sudah lama kusimpan, akhirnya kutarik keluar. Kertas itu sudah lecek, tapi isinya masih utuh. Masih ada sisa tinta dari malam saat aku menulisnya dengan air mata.

Malam itu, setelah memastikan Adit stabil dan ditangani tim dokter, aku pulang sebentar ke rumah. Mata sembab, tubuh gemetar, tapi langkahku tetap. Aku masuk kamar, ganti baju kerja dengan pakaian bersih, lalu kembali ke rumah sakit dengan satu tekad: besok aku akan kembali ke pabrik, bukan untuk bekerja—tapi untuk pamit!

Tak bisa kupungkiri, ada ketakutan. Bagaimana kalau setelah ini aku tak bisa menyambung hidup? Bagaimana jika tabungan yang kusiapkan tak cukup? Bagaimana dengan usaha kecil-kecilan yang belum juga menghasilkan?

Tapi semua itu tak sebanding dengan satu kenyataan: aku hampir kehilangan Adit!

Dan aku tak mau menunggu sampai ‘hampir’ itu menjadi ‘benar-benar.’

Aku duduk di samping tempat tidur Adit sepanjang malam. Wajahnya tampak sedikit lebih tenang, meski tubuhnya masih lemah. Aku bisikkan ke telinganya, “Mama di sini, Nak. Mama nggak ke mana-mana lagi…”

Tangannya yang kecil menggenggam jariku. Mungkin dia belum sadar sepenuhnya. Tapi aku merasa, hatinya bisa mendengar.

Dan di situlah aku tahu, walau dunia menganggap aku gila karena meninggalkan pekerjaan tetap di saat krisis, aku sudah memilih yang benar!

***

Tapi ternyata… memilih yang benar tidak selalu berarti semesta akan mengulurkan tangan.

Pagi itu, langit masih gelap saat adzan subuh berkumandang pelan dari masjid dekat rumah sakit. Aku masih di sisi Adit, memegang tangannya yang terasa lebih dingin dari semalam. Napasnya terdengar berat, kadang terputus, lalu tersambung lagi seperti rantai yang hampir putus.

Seorang perawat masuk untuk mengecek kondisi. Dia memasang alat pemantau denyut jantung, tapi tidak berkata apa-apa. Hanya menulis sesuatu di papan catatan, lalu keluar tanpa senyum.

Aku merasa firasat aneh di dada. Jantungku berdetak lebih cepat. Kupandangi wajah Adit yang pucat, matanya masih terpejam, bibirnya sedikit biru.

Aku membelai rambutnya pelan. “Adit… Mama udah di sini. Udah nggak lembur lagi. Udah nggak ninggalin Adit lagi…”

Tanganku menggenggam jemarinya lebih erat.

“Ayo bangun, Nak… Besok kita bisa masak bareng lagi, ya? Mama beli telur dadar kesukaan kamu. Kita tanam cabai di pot belakang rumah, kayak yang Adit pingin dulu…”

Tapi Adit tetap diam.

Perawat lain masuk bersama seorang dokter muda. Mereka berdiskusi pelan, lalu mengangguk kecil ke arahku.

“Bu Rina… kami perlu bicara sebentar,” ucap dokter itu dengan suara hati-hati.

Aku berdiri, mencoba tersenyum, walau tubuhku terasa seperti tak bertulang.

“Bagaimana kondisi Adit, Dok? Sudah lebih baik, kan?”

Dia menatapku sejenak, lalu menghela napas panjang. “Maaf, Bu… ada komplikasi mendalam. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi… kondisi Adit menurun sangat cepat sejak dini hari tadi.”

Aku tidak sepenuhnya memahami maksudnya—atau mungkin, aku hanya tidak ingin memahami.

“Bu… putra Ibu telah meninggal dunia, pukul 04.27 pagi ini.”

Dunia tiba-tiba sunyi.

Aku mematung. Suara dokter pelan, tapi kalimat itu menggema di telingaku berkali-kali, seperti palu godam yang memecah jiwaku.

Aku terjatuh di lantai. “Tidak… tidak mungkin… barusan dia masih di sini. Masih bernapas…”

Air mataku tumpah tanpa suara. Hanya tubuhku yang bergetar. Tangisku tak sempat keluar lewat suara. Hanya isak yang tersendat di tenggorokan.

Aku berlari ke dalam ruangan. Di sana, Adit sudah dibaringkan dengan selimut putih menutupi tubuh mungilnya. Hanya wajahnya yang masih terlihat, tenang… seperti sedang tidur. Aku yakin, kali ini dunia benar-benar runtuh. Aku melangkah mendekati tempat tidur, sempoyongan.

Aku peluk dia erat—sekali lagi. Untuk terakhir kalinya.

“Maaaf… Maaf, Nak… Mama telat ya…”

Suara itu akhirnya pecah dari mulutku. Ruangan itu penuh tangis. Tangis keras yang sengau, mengiris hati siapapun yang mendengarnya.

Tangis yang sudah terlalu lama kutahan.
Tangis karena semua yang kutunda.
Semua yang kusangka bisa menunggu.

Bersambung