Jakarta, KPonline – Bukan sekadar kalimat, tetapi keputusan yang menyatukan. Dimana, ribuan buruh yang tergabung dalam Koalisi Serikat Pekerja bersama Partai Buruh (KSP-PB) menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Kamis (28/8/2025).
Dalam orasinya, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Jawa Barat, Suparno, menyampaikan bahwa perjuangan buruh kali ini bukanlah hal yang sepele. Ia menegaskan, aksi di DPR RI kali ini hanyalah permulaan dari rangkaian panjang perjuangan kelas pekerja di seluruh Indonesia.
Menurutnya, DPR RI harus transparan dalam proses legislasi ketenagakerjaan. Buruh tidak ingin terulang kembali pengalaman buruk ketika lahirnya Omnibus Law Cipta Kerja, yang dinilai mengabaikan aspirasi pekerja dan hanya berpihak kepada pengusaha.
“Kenapa kita harus kawal? Karena kalau kita lengah, undang-undang yang dihasilkan akan kembali merugikan buruh. Upah, pesangon, kontrak kerja, hingga jaminan sosial, semua itu ada di dalamnya. Masa depan buruh 20 tahun ke depan dipertaruhkan,” ujarnya.
Suparno juga menegaskan bahwa aksi ini tidak akan berhenti di Jakarta saja. Ia menginstruksikan agar jaringan serikat pekerja di seluruh kabupaten/kota menyiapkan aksi lanjutan, baik terencana maupun spontan, untuk memastikan DPR RI tidak “kucing-kucingan” dalam pembahasan undang-undang.
“Buruh punya logikanya sendiri, punya caranya sendiri untuk mengawal cita-cita kaum pekerja. Jangan pernah lelah. Kalau perlu, instruksi aksi bisa keluar secara dadakan, dan kita harus siap,” katanya dengan penuh semangat.
Ia menambahkan, perjuangan buruh kali ini tidak hanya sebatas mempertahankan hak yang ada, tetapi juga memperjuangkan peningkatan kesejahteraan. Buruh, menurutnya, tidak boleh dibiarkan terus-menerus menjadi korban kebijakan yang berpihak pada pemodal besar.
“Kalau undang-undang yang lahir tidak berpihak kepada buruh, maka kita akan lawan. Kita siapkan aksi-aksi besar. Jangan pernah berhenti berjuang. Tetap semangat, karena ini adalah soal masa depan kaum buruh dan keluarga kita,” tutup Suparno.
Aksi buruh di DPR RI ini berlangsung dengan tertib dan membawa enam isu utama.
Pertama, mendesak penghapusan sistem outsourcing dan menolak praktik upah murah.
Kedua, menuntut kenaikan upah minimum tahun 2026 sebesar 8,5 hingga 10,5 persen.
Ketiga, mendesak pencabutan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 yang sudah dinyatakan tidak berlaku menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Keempat, menuntut pemerintah segera menghentikan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas) PHK.
Isu kelima, reformasi sistem perpajakan. Buruh meminta pemerintah menaikkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp4,5 juta menjadi Rp7,5 juta per bulan. Selain itu, mereka menuntut penghapusan pajak atas pesangon, Tunjangan Hari Raya (THR), dan Jaminan Hari Tua (JHT).
Keenam, buruh mendesak pengesahan rancangan undang-undang ketenagakerjaan yang baru sesuai mandat MK paling lambat dua tahun sejak putusan. Hingga kini, hampir satu tahun sejak keputusan MK Nomor 168 Tahun 2024 dimenangkan Partai Buruh, pemerintah belum membentuk RUU tersebut.