Purwakarta, KPonline-Sudah lewat dari tenggat resmi 21 November 2025, namun hingga hari ini nilai Upah Minimum 2026 masih menjadi teka-teki yang diselimuti kabut ketidakjelasan. Pemerintah yang seharusnya menunaikan kewajiban pengumuman, justru memilih bungkam. Sementara jutaan buruh menahan napas, menunggu angka yang akan menentukan apakah mereka bisa bertahan hidup tahun depan atau kembali terjerat lingkaran hidup jauh dari kelayakan.
Sesuai mekanisme yang berlaku, tanggal 21 November adalah waktu sakral pengumuman UMP. Tetapi untuk tahun 2026, tanggal itu lewat begitu saja tanpa konferensi pers, tanpa rilis resmi, bahkan tanpa pernyataan penundaaan yang tegas. Dan yang muncul hanya spekulasi dan rumor, yang membuat keresahan semakin menebal.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI-JSK) Kemenaker, Indah Anggoro Putri, sebelumnya menjelaskan bahwa UMP 2025 dinaikkan 6,5% adalah sebuah angka tunggal yang ditetapkan secara mendadak akibat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang keluar di akhir tahun.
Namun untuk tahun 2026, pemerintah diwajibkan mengikuti formula baru yang telah dirubah sebagian oleh putusan MK. Dan disinilah masalah kembali muncul.
Indah mengungkapkan bahwa salah satu variabel paling krusial dalam rumus, nilai alpha akan mengalami perluasan nilai. Jika sebelumnya berkisar antara 0,1 hingga 0,3 maka kini pemerintah “mempertimbangkan perluasan alpha sesuai amanat MK”.
Apa angka pastinya?
Indah menolak menyebutkannya. Hanya menyampaikan bahwa Kebutuhan Hidup Layak (KHL) kini harus masuk sebagai komponen pertimbangan dalam menentukan alpha.
Tentu saja hal ini menciptakan kekaburan baru. Rumus upah tetap sama, variabel tetap sama, tetapi nilai alpha yang selama ini menjadi pemicu naik turunnya UMP justru diubah tanpa kejelasan. Seolah-olah pemerintah sedang memegang kartu penting tetapi memilih tidak membukanya di meja publik.
Penundaan pengumuman upah bukan sekadar perkara administratif.
Ini soal kehidupan jutaan pekerja. Ketika pemerintah pusat lambat, seluruh sistem ikut tersendat.
Di lapangan, para pekerja merasa pemerintah sengaja memperlambat keputusan. Ada yang menduga pemerintah takut menetapkan angka sebelum suhu politik stabil. Ada pula yang menilai pemerintah sedang melakukan tarik-ulur dengan pelaku usaha besar.
Apa pun alasannya, publik tidak diberi jawaban yang jelas.
Kemudian, Indah memastikan bahwa semua penetapan UMP ke depan tetap menggunakan rumus lama, hanya alpha yang disesuaikan. Ia menegaskan bahwa MK memerintahkan pemerintah untuk mempertimbangkan KHL dalam menentukan alpha.
Diberbagai daerah, forum-forum serikat pekerja mulai memanas. Banyak pengurus buruh mempertanyakan mengapa pemerintah bisa begitu mudah menetapkan UMP 2025 bahkan dengan satu angka serempak tetapi justru berlarut-larut ketika reformulasi alpha diperlukan.
Para buruh menilai pemerintah seolah ingin mengambil waktu sebanyak mungkin untuk mencari angka yang menguntungkan pemerintah dan pengusaha, namun membebani pekerja.
Jika benar demikian, penundaan ini bukan sekadar keterlambatan teknis, tetapi indikasi lemahnya komitmen negara dalam memastikan kesejahteraan buruh.
Penundaan pengumuman upah minimum bukan isu sepele. Ini menunjukkan:
•Minimnya transparansi pemerintah
•Ketergantungan fatal pada putusan MK tanpa kesiapan implementasi
•Ketiadaan komunikasi publik yang jelas
•Krisis kepercayaan antara buruh dan negara
Selama pemerintah tidak menjelaskan apa yang sedang dikerjakan, apa yang belum selesai, dan kapan UMP 2026 akan diumumkan, maka misteri ini hanya akan memperdalam kekecewaan buruh yang selama ini merasa selalu menjadi pihak yang dikorbankan.