Pelalawan, KPonline-
Polemik perekrutan calon pekerja di perusahaan kontraktor penerima kerja di PT RAPP kembali menuai sorotan. Persyaratan wajib memiliki BPJS Kesehatan aktif yang diberlakukan perusahaan dinilai semakin menyulitkan pekerja lokal untuk bisa diterima bekerja.
Padahal, merujuk Undang-Undang Ketenagakerjaan, kewajiban mendaftarkan tenaga kerja ke BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan justru berada di pundak pengusaha. Namun ironisnya, perusahaan beralasan tidak memiliki “link” untuk mendaftarkan pekerja ke BPJS. Dalih tersebut dianggap tidak masuk akal, sebab pendaftaran dapat dilakukan secara langsung melalui layanan offline BPJS Kesehatan jika terkendala sistem online.
“Ini jelas alasan klasik. Bukan karena tidak bisa, tapi karena perusahaan tidak mau repot. Pengusaha seolah melempar beban administratif kepada calon pekerja, padahal sudah jelas itu kewajiban mereka,” tegas Heri Isma, staf Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Provinsi Riau.
Perusahaan berkilah, jika calon pekerja tidak lulus saat pelatihan safety induction, maka mereka akan dirugikan karena sudah mengeluarkan biaya pendaftaran BPJS, pengadaan seragam, dan Alat Pelindung Diri (APD). Namun FSPMI menilai alasan itu lemah, sebab hal tersebut merupakan risiko bisnis yang seharusnya sudah diperhitungkan perusahaan, bukan dibebankan kepada pekerja.
Lebih jauh, Heri mempertanyakan konsistensi aturan tersebut. Apakah pekerja dari luar daerah yang didatangkan perusahaan perekrut juga diperlakukan sama soal kewajiban BPJS Kesehatan? Atau aturan ini hanya dijadikan tameng untuk mempersempit ruang pekerja lokal agar tersingkir dari peluang kerja di kampungnya sendiri?
Heri mencontohkan kasus seorang calon pekerja datang membawa keluhan, yang sebelumnya terdaftar dalam program Indonesia Sehat PBI APBD. Setelah terkena PHK, kepesertaannya otomatis nonaktif. Akibatnya, ketika melamar ke perusahaan, ia ditolak hanya karena status BPJS yang tidak aktif. “Inilah masalah baru yang timbul akibat aturan sepihak perusahaan. Buruh lokal semakin terjepit,” ungkapnya.
Atas kondisi ini, FSPMI mendesak Dinas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota hingga Provinsi Riau, khususnya kabupaten Pelalawan untuk lebih peka dan tidak tutup mata terhadap praktik perekrutan yang menyulitkan buruh. “Kami hanya minta satu: jangan persulit buruh lokal untuk bekerja. Ikuti aturan dan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Kalian pengusaha boleh kaya, tapi jangan miskinkan kami kaum buruh,” tegas Heri dengan nada keras.
FSPMI juga meminta pemerintah daerah hadir lebih tegas menertibkan kontraktor nakal yang seenaknya membuat aturan sendiri. “Jika pemerintah daerah dan Disnaker diam, sama saja membiarkan buruh diperas. Buruh butuh kerja, jangan dijadikan korban keserakahan perusahaan,” tutup Heri.