Buruh Lembur, Politisi Berhitung, Investor Berpindah

Buruh Lembur, Politisi Berhitung, Investor Berpindah
Ratusan buruh PT. Pakerin menginap di depan Kantor Pemerintahan Provinsi Jawa Timur meminta pemerintah hadir menyelesaikan permasalahan upah yang belum dibayar dan ancaman PHK (11/09/2025)

Buruh di pabrik masih sibuk mengejar target produksi harian yang tak kenal lelah, meski gaji mereka hanya pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti beras, susu anak, dan tagihan listrik yang kian membengkak. Di gedung-gedung megah ibu kota, para politisi sibuk berhitung suara dukungan dan kursi kekuasaan dalam koalisi yang rapuh, sering kali mengorbankan agenda rakyat demi kestabilan kabinet. Sementara itu, investor asing tanpa banyak bicara sudah berkemas dan memindahkan pabrik mereka ke Vietnam, meninggalkan ribuan pekerja menganggur dan daerah industri yang sepi. Itulah gambaran besar negeri ini: peluh keringat di lapisan bawah masyarakat yang tak terhitung, intrik politik di atas yang penuh tipu daya, dan keuntungan modal yang mengalir keluar negeri tanpa jejak, meninggalkan luka ekonomi yang dalam bagi bangsa.

Gambaran ini bukan sekadar metafor, melainkan realitas yang semakin nyata di tengah gejolak global pasca-pandemi. Buruh pabrik, yang mayoritas berasal dari desa-desa pelosok, datang ke kota dengan mimpi sederhana: penghasilan tetap untuk keluarga. Namun, kenyataan menyambut mereka dengan jam kerja 12 jam sehari, tanpa jaminan keselamatan kerja yang memadai. Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan (2024), lebih dari 500 ribu pekerja informal kehilangan mata pencaharian akibat penutupan pabrik skala kecil.

Peluh Buruh di Lantai Pabrik

Di layar televisi, politik tampil seperti drama berseri yang penuh intrik, gesekan antarpihak, dan strategi licik untuk merebut pengaruh. Bayangkan saja, debat sengit di parlemen tentang revisi Undang-Undang Cipta Kerja yang seharusnya melindungi buruh, justru berujung pada amandemen yang lebih menguntungkan korporasi Namun, di lantai pabrik yang berdebu dan panas, buruh hanya menjalani satu episode berulang: lembur hingga larut malam, pulang dengan sisa tenaga yang nyaris habis untuk menyusui anak atau memasak makan malam, dan besoknya harus kembali lagi dengan mata merah karena kurang tidur.

Seperti pernah ditulis Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia (1977), bangsa ini adalah bangsa yang artistik sekaligus penuh daya tahan. Tetapi daya tahan itu diuji keras di lantai pabrik, ketika tenaga murah menjadi alasan utama keberadaan mereka, bukan kesejahteraan yang dijanjikan.

Intrik Politik yang Mengabaikan Rakyat

Politik nasional sering kali terjebak dalam pusaran intrik yang membuat isu buruh terpinggirkan. Debat di parlemen lebih banyak membahas alokasi anggaran proyek prestise daripada reformasi upah minimum yang adil. Akibatnya, buruh terjebak dalam siklus kemiskinan struktural, di mana lembur menjadi satu-satunya cara bertahan hidup, tapi juga mempercepat kelelahan fisik dan mental.

Ekonom senior Emil Salim pernah mengingatkan: “Pembangunan yang tidak berpihak pada rakyat kecil hanyalah statistik kosong. Angka bisa naik, tetapi perut tetap lapar.” Kutipan ini masih relevan, menggambarkan jurang antara pertumbuhan ekonomi makro dengan realitas pekerja di lapangan.

Investor yang Mudah Berpindah

Investor asing, dengan kalkulator dingin dan hitung-hitungan untung-rugi yang presisi, menilai segala sesuatu berdasarkan efisiensi mutlak. Biaya tenaga kerja di Vietnam lebih murah hingga 30% dibandingkan Indonesia (Bank Dunia, 2025), birokrasi lebih ramping tanpa hambatan perizinan yang berbelit-belit, logistik lebih efisien berkat pelabuhan modern, serta insentif pemerintah seperti pemotongan PPN menjadi 8% yang membuat pajak lebih ringan.

Tak heran jika pabrik-pabrik satu per satu pindah ke Hanoi, Ho Chi Minh, atau Da Nang, meninggalkan kawasan industri di Bekasi, Tangerang, atau Cikarang yang kini dipenuhi gudang kosong dan tanaman liar.

Contoh Kasus Relokasi Pabrik

Contoh nyatanya, banyak pabrik sepatu Nike yang hengkang dari Indonesia ke Vietnam sejak 2022, karena upah buruh di sana lebih rendah dan regulasi lebih ramah bagi investor (Wischer Hulst, Labour and Capital in Southeast Asia). Kasus serupa terjadi pada PT Yihong Novatex Indonesia yang memindahkan operasinya ke Vietnam pada 2025 akibat tekanan eksternal seperti sweeping buruh dan birokrasi rumit di Indonesia. PT Huang A Indonesia di Kawasan Industri Hyundai tutup operasi pada 2024 dan pindah ke Vietnam, menyebabkan ratusan pekerja kehilangan pekerjaan.

Yang terbaru, LEGO Group secara resmi membuka pabrik canggih senilai 1 miliar dolar AS di Binh Duong, Vietnam, pada April 2025.

Jalan Keluar: Penguatan Ekonomi Desa

Apa yang bisa dilakukan untuk membalikkan keadaan? Salah satunya adalah berhenti menaruh harapan berlebihan pada investasi asing yang mudah berpindah jika ada tawaran lebih menggiurkan di negara lain. Sebaliknya, fokuslah pada penguatan ekonomi desa melalui filantropi desa yang berkelanjutan.

Seperti dikatakan Bung Hatta, “Indonesia tidak akan besar karena obor di Jakarta, tetapi karena lilin-lilin kecil di desa-desa.” Kalimat ini menegaskan pentingnya membangun kemandirian dari bawah, bukan sekadar menunggu limpahan modal asing.

Skema BMT sebagai Solusi Konkret

Untuk menggerakkan roda ekonomi desa secara konkret, ada skema Baitul Maal wat Tamwil (BMT) yang terbukti efektif sejak krisis ekonomi 1997. BMT bukan sekadar koperasi biasa; ia menggabungkan fungsi sosial yang saling bantu-membantu dengan fungsi bisnis yang mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pembiayaan syariah.

Contoh suksesnya, BMT Raudhah di Jawa Tengah berhasil mendorong peningkatan perekonomian lokal dengan menyalurkan pembiayaan kepada UMKM, sehingga pendapatan masyarakat naik 25% dalam dua tahun terakhir.

Bangkit dari Bawah: Kesimpulan dan Harapan

Satirnya sederhana namun menusuk: kursi pabrik memang bisa pindah ke Vietnam dengan mudah, tapi kursi di meja dapur rakyat tetap bisa terisi penuh dengan nasi hangat dan sayur segar, asalkan desa diberdayakan dengan sungguh-sungguh melalui filantropi dan BMT.

Seperti pernah diingatkan Gus Dur: “Kesejahteraan itu sederhana: rakyat bisa makan enak, tidur nyenyak, dan sekolah dengan baik.” Itulah ukuran pembangunan sejati, bukan sekadar pertumbuhan angka di atas kertas.