Jepara, KPonline – Buruh yang tergabung dalam Konsulat Cabang Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (KC FSPMI) Jepara menggelar aksi sebagai respon terhadap sikap pemerintah dan asosiasi pengusaha dalam penentuan kenaikan upah minimum di Kabupaten Jepara, Senin (22/12/2025).
Berbeda dari aksi-aksi sebelumnya, buruh dalam aksi kali ini memilih melakukan long march atau berjalan kaki dari titik awal keberangkatan di PT SAMI-JF, Kecamatan Mayong, Jepara menuju Kantor Bupati Jepara. Aksi long march tersebut dilakukan sebagai simbol perlawanan dan kesungguhan buruh dalam menuntut kebijakan pengupahan yang adil dan berpihak pada kebutuhan hidup layak.
Sebelumnya, dalam rapat Dewan Pengupahan Kabupaten (Depekab) yang digelar pada Jumat (19/12/2025), unsur pemerintah melalui Dinas Tenaga Kerja dan unsur pengusaha Kabupaten Jepara sepakat mengusulkan kenaikan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Jepara dengan menggunakan koefisien alfa 0,7. Bahkan, unsur pengusaha sempat mengusulkan koefisien alfa dengan nilai 0,3 sebagai dasar perhitungan kenaikan upah minimum.
Selain itu, terkait Upah Minimum Sektor Kabupaten (UMSK) Jepara tahun 2026, unsur pemerintah dan pengusaha juga sepakat untuk menunda pembahasan UMSK dan baru akan dimulai pada bulan Juni 2026 untuk usulan UMSK tahun 2027. Keputusan tersebut menuai penolakan dari kalangan buruh karena dinilai menghilangkan hak pekerja sektor unggulan di Jepara untuk mendapatkan upah yang lebih layak.
Merespons hal tersebut, Ketua KC FSPMI Jepara Raya, Yopy Priambudi, menegaskan bahwa usulan nilai alfa sebesar 0,7 sebagai koefisien perumusan kenaikan UMK semakin menjauhkan buruh dari pemenuhan kebutuhan hidup layak. Menurutnya, kebijakan tersebut tidak mencerminkan kondisi riil kebutuhan buruh di Jepara yang terus meningkat.
Lebih lanjut, Yopy menilai penggunaan koefisien alfa rendah tersebut tidak sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang menegaskan hak pekerja atas penghidupan yang layak.
“Menyatakan Pasal 88 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai bahwa penghasilan pekerja harus mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan keluarganya secara wajar,” tegas Yopy.
Ia menambahkan, kebutuhan hidup layak tersebut meliputi pemenuhan kebutuhan dasar seperti makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, hingga jaminan hari tua. Oleh karena itu, menurutnya, kebijakan pengupahan yang hanya berorientasi pada kepentingan pengusaha jelas bertentangan dengan amanat konstitusi.
Dalam aksinya, massa buruh mendesak Bupati Jepara untuk menolak usulan kenaikan UMK dengan koefisien alfa 0,7 dan menyampaikan dua tuntutan utama, yaitu:
- Menetapkan kenaikan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Jepara tahun 2026 dengan menggunakan indeks alfa 0,9, sebagai bentuk keberpihakan terhadap pemenuhan kebutuhan hidup layak buruh dan selaras dengan amanat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023.
- Merealisasikan penetapan Upah Minimum Sektor Kabupaten (UMSK) Jepara tahun 2026, tanpa penundaan, guna memberikan perlindungan dan keadilan upah bagi pekerja di sektor-sektor unggulan di Kabupaten Jepara.
Buruh menegaskan, kedua tuntutan tersebut merupakan harga mati dan menjadi tolok ukur keberpihakan pemerintah daerah terhadap kesejahteraan pekerja. Apabila tuntutan tersebut tidak dipenuhi, KC FSPMI Jepara Raya menyatakan siap mengonsolidasikan kekuatan buruh untuk melakukan aksi lanjutan yang lebih besar dan masif. (Ded/sup)
Kontributor Jepara