Pasuruan, KPonline – Kesabaran buruh Jawa Timur kian menipis. Ketidakpastian penetapan upah minimum tahun 2026 kembali memantik bara perlawanan. Dewan Pimpinan Wilayah Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (DPW FSPMI) Jawa Timur resmi menginstruksikan aksi demonstrasi besar-besaran selama tiga hari berturut-turut, sebagai bentuk perlawanan terhadap lambannya pemerintah dalam menjamin upah layak bagi pekerja.
Instruksi aksi bernomor 133/DPW-FSPMI/JATIM/XII/2025 yang dikeluarkan pada 19 Desember 2025 itu menegaskan bahwa buruh tidak akan lagi diam menghadapi ketidakadilan struktural yang terus berulang setiap tahun. Aksi dijadwalkan berlangsung pada Senin hingga Rabu, 22-24 Desember 2025, mulai pukul 09.00 WIB hingga selesai, dengan titik aksi di Gedung Negara Grahadi dan Kantor Gubernur Jawa Timur, Surabaya.
“Upah minimum bukan hadiah, melainkan hak dasar buruh untuk hidup layak,” demikian semangat yang tersirat kuat dalam instruksi tersebut.
DPW FSPMI Jawa Timur menyerukan kepada seluruh kekuatan organisasi mulai dari KC FSPMI, PC SPA FSPMI, PUK, Garda Metal, hingga pilar-pilar FSPMI di seluruh kabupaten dan kota untuk turun ke jalan secara tertib dan damai, namun dengan tekad yang tak tergoyahkan.
Dalam tuntutannya, FSPMI menegaskan beberapa poin krusial. Pertama, penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) Jawa Timur 2026 harus mengacu pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan nilai tegas sebesar Rp 3.575.938. Angka ini bukan hasil spekulasi, melainkan cermin realitas biaya hidup buruh yang terus melonjak di tengah harga kebutuhan pokok yang kian mencekik.
Kedua, FSPMI menuntut penetapan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) serta Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) tahun 2026 di 32 kabupaten/kota di Jawa Timur, yang nilainya tidak boleh lebih rendah dari KHL provinsi.
Ketiga, penetapan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) harus benar-benar berdasarkan rekomendasi bupati dan wali kota, bukan hasil kompromi politik yang mengorbankan buruh.
Bagi FSPMI, perjuangan ini bukan sekadar soal angka di atas kertas. Ini tentang dapur buruh yang mengepul atau padam, tentang anak buruh yang bisa sekolah atau terpaksa putus di tengah jalan, tentang harga diri pekerja yang selama ini dipaksa tunduk pada sistem upah murah.
Aksi ini menjadi peringatan keras bagi Pemerintah Provinsi Jawa Timur: buruh tidak akan lagi menerima kebijakan yang abai terhadap keadilan sosial. Jika negara terus lalai, maka jalanan akan menjadi ruang suara, dan solidaritas buruh akan menjadi kekuatan yang tak bisa diabaikan.
Di tengah gemerlap pembangunan dan narasi pertumbuhan ekonomi, buruh kembali mengingatkan satu hal mendasar: tanpa upah layak, pembangunan hanyalah ilusi yang dibayar dengan penderitaan kelas pekerja.



