Buruh FSPMI Mengepung MA: Yamaha Jangan Sembunyi di Balik Seragam Hukum

Buruh FSPMI Mengepung MA: Yamaha Jangan Sembunyi di Balik Seragam Hukum

Jakarta, KPonline-Ribuan buruh FSPMI hari ini, Selasa (18/11) menuju Mahkamah Agung (MA), memastikan para hakim agung tidak tergoda oleh tekanan korporasi dalam perkara pemutusan hubungan kerja sepihak terhadap dua pimpinan serikat pekerja Yamaha Musik Manufacturing Asia (YMMA). Aksi besar ini bukan sekadar unjuk rasa. Ini adalah seruan keras agar hukum tidak lagi menjadi panggung permainan para pemilik modal.

Saat dikonfirmasi, Mubarok, Sekretaris Jenderal dengan tugas Bidang Aksi FSPMI menyampaikan alasan utama mengapa FSPMI mengepung gedung tertinggi lembaga peradilan tersebut.

“Tujuan aksi FSPMI hari ini di depan Mahkamah Agung adalah untuk memastikan putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) terkait dua orang yang di-PHK sepihak oleh Yamaha Musik tetap ditegakkan,” ungkap Mubarok.

Ia menegaskan bahwa pemecatan terhadap Bambang dan Wiwin, ketua dan sekretaris PUK FSPMI Yamaha Musik bukan hanya tidak jelas alasannya, tetapi juga mencoreng prinsip keadilan dan kebebasan berserikat yang dijamin undang-undang.

PHI Jawa Barat sebelumnya telah memutuskan dengan jelas dan tegas: memerintahkan pihak perusahaan mempekerjakan kembali dua pimpinan serikat pekerja tersebut. Namun Yamaha Musik justru melakukan langkah banding ke Mahkamah Agung, seolah menolak tunduk pada hukum dan memilih berhadapan dengan para pekerjanya sendiri.

“Oleh karena itu, kami hadir di sini untuk meyakinkan MA agar tidak terpengaruh oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang mencoba mengubah keputusan itu. Kami tahu betul tekanan seperti apa yang sering terjadi dalam kasus buruh,” tambah Mubarok.

Menurutnya, mulai tanggal 18 hingga 27 bulan ini, Mahkamah Agung akan menggelar Rapat Pemusyawaratan Hakim (RPH) untuk membahas gugatan dan upaya banding Yamaha Musik. Di titik ini, nasib dua buruh yang mewakili suara ratusan anggota menjadi pertaruhan besar.

“Ada dua kemungkinan,” jelas Mubarok.
“Pertama, MA tetap berpegang teguh pada putusan PHI dan memerintahkan reinstatement Bambang dan Wiwin. Kedua—dan ini yang kami curigai—putusan justru berbalik arah, seperti banyak kasus buruh lainnya yang menang di PHI tapi dikuburkan di MA.”

Perkataan Mubarok bukan tanpa dasar. Di kalangan buruh, MA sering dijuluki “kuburan putusan PHI”, tempat harapan pekerja kerap dikalahkan oleh kekuatan modal dan politik hukum yang tidak transparan. Banyak buruh menang di PHI, namun semuanya kandas di MA tanpa penjelasan yang meyakinkan.

Kemudian, saat ditanya mengenai kemungkinan MA memenangkan Yamaha, Mubarok menjawab tegas:

“Tentu ini menjadi PR besar bagi kita semua. Tidak hanya aksi-aksi yang akan kita lakukan secara terus-menerus, tetapi juga langkah-langkah komunikatif dengan Kemenkum HAM, Komisi Yudisial, dan lembaga-lembaga lain untuk memastikan tidak ada permainan gelap dalam proses hukum ini.”

FSPMI menegaskan bahwa mereka tidak akan tinggal diam. Jika keputusan MA nanti mencederai keadilan buruh, gelombang perlawanan akan terus bergulung lebih besar, lebih masif, dan lebih terorganisir.

“Kami akan meningkatkan aksi secara kontinu. Ini bukan sekadar membela dua orang, ini membela harga diri seluruh kelas pekerja Indonesia,” tutup Mubarok