Buruh FSPMI Gedor MA, Ketuk Hati Nurani Profesor-Profesor Palu Besi

Buruh FSPMI Gedor MA, Ketuk Hati Nurani Profesor-Profesor Palu Besi

Jakarta, KPonline-Mahkamah Agung (MA) kembali menjadi panggung tarik-menarik antara keadilan dan kekuasaan. Hari ini, Selasa (18/11) ribuan buruh Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) dari Jabodetabek hingga Purwakarta mengepung gedung tertinggi lembaga peradilan tersebut. Bukan sekadar untuk menyampaikan aspirasi. Namun mereka datang mengetuk pintu tertinggi hukum, menggugat hati nurani para hakim, menolak nasib buruh dijadikan “kuburan perkara” di Mahkamah Agung.

Suparno, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) FSPMI Jawa Barat, dengan lantang dari atas mobil komando mengatakan,

“Kawan-kawan sekalian, pengawalan di Mahkamah Agung ini adalah hal yang harus kita lakukan! Demi sebuah keadilan!”

Sebelum masuk pada kritik pedasnya, Suparno sempat mengucapkan terima kasih kepada aparat kepolisian yang mengawal jalannya aksi. Namun setelah itu, tidak ada lagi jeda, tidak ada lagi sopan-santun basa-basi yang keluar hanyalah kebenaran telanjang yang selama ini ditelan para buruh.

Dalam orasinya, Suparno membedah perjalanan regulasi penyelesaian perselisihan hubungan industrial sejak 1957. Sebuah perjalanan panjang yang menurutnya hanya mengubah bentuk ketidakadilan, bukan menghapusnya.

Ia menjelaskan bahwa pada masa UU No. 22 Tahun 1957, penyelesaian perselisihan perburuhan tidak melibatkan Mahkamah Agung.

Tetapi setelah bergulirnya masa Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi, lahirlah UU Nomor 2 Tahun 2004. Regulasi baru yang katanya lebih modern, namun justru menurut Suparno:

“Undang-Undang 2004 ini tidak berimbang! Kaum buruh didorong masuk ke pengadilan-pengadilan yang jelas membuat kita berada pada posisi lemah.”

Dengan kata lain, buruh dipaksa bertarung di arena yang mereka sendiri tidak dilatih untuk memasukinya.

Suparno menegaskan bahwa dari 57 juta buruh di Indonesia, tidak lebih dari dua persen yang memahami prosedur penyelesaian melalui jalur hukum. Mulai dari cara membuat gugatan, replik, duplik, hingga memori kasasi hanya segelintir buruh yang mampu melakukannya.

“Bagaimana kaum buruh bisa menang, sementara sistem saja memaksa mereka bermain di ranah yang bukan keahliannya?,” seru Suparno.

Ia juga menyoroti sifat hakim yang pasif. Berbeda dengan sistem lama di mana P4D atau P4P bisa aktif meminta bukti tambahan, kini jika buruh salah sedikit dalam menyusun berkas, gugatan langsung ditolak. Bukan karena salah substansi, tetapi salah teknis.

“Ini jebakan!” begitu kira-kira gambaran lantang yang disampaikan kepada massa aksi.

Suparno membeberkan data yang diperoleh dari Kementerian Ketenagakerjaan. Pada tahun-tahun sebelum Omnibus Law, kasus perselisihan hubungan industrial hanya sekitar seribu kasus per tahun. Namun setelah Omnibus Law diberlakukan, angkanya melonjak drastis.

“Dari seribu kasus menjadi tujuh ribu! Naik enam ratus persen! Ini data Menteri Tenaga Kerja!”

Lonjakan kasus ini, kata Suparno, adalah bukti bahwa regulasi baru justru memperburuk kondisi buruh. Pengusaha makin leluasa, buruh semakin terpojok.

Di titik inilah Suparno menyoroti Mahkamah Agung secara tajam. Pengadilan tingkat pertama dan banding (PHI) relatif masih objektif. Namun saat kasasi masuk ke MA, banyak perkara buruh yang “diakhiri” dengan dalih disharmonis dan alasan formil lainnya.

“Mahkamah Agung ini sering memutus berdasarkan law in book tanpa memakai law in action! Seolah lupa bahwa hukum bukan hanya teks, tapi kemanfaatan bagi rakyat kecil!”

Lebih jauh, Suparno menyentil keras para hakim MA, yang banyak bergelar profesor.

“Apa jangan-jangan profesor-profesor itu sudah lupa sosiologi hukum? Lupa bahwa hukum harus bermanfaat bagi rakyat?”

Suparno mengingatkan bahwa hakim bukan sekadar profesi. Mereka adalah perwakilan Tuhan dalam memutus perkara.

“Kalau pakai hati nurani, seharusnya hakim Mahkamah Agung berpihak kepada kaum buruh dan rakyat kecil! Bukan kepada pengusaha yang punya duit!”

Ia menyinggung prinsip ex aequo et bono, yaitu kewenangan hakim untuk memutus berdasarkan keadilan, sesuatu yang hampir tidak pernah dipakai ketika buruh berhadapan dengan korporasi besar.

Suparno menutup orasinya dengan ultimatum keras kepada Mahkamah Agung.

“Aksi ini baru permulaan! Kalau nanti ada indikasi hakim Mahkamah Agung masuk angin, saya jamin massa yang datang akan lebih besar dari hari ini!”

Ia menegaskan bahwa Jawa Barat hari ini hanya mengirim delegasi dari Karawang, Purwakarta, Bogor, Depok, Subang, Bandung Raya, dan Bekasi. Artinya, jika seluruh kekuatan dikerahkan, lautan massa buruh FSPMI bisa memenuhi Ibu Kota.