Oleh: Elvan S
“Yang tersisa di bumi pertiwi hanyalah dua hal yang dibuat oleh Tuhan, dan yang dibuat oleh China.”
Ketika Dua Pilar Ekonomi Ambruk Bersamaan
Selama satu dekade terakhir, dunia industri Indonesia terus mengalami kemunduran. Pabrik-pabrik tutup, pengangguran meningkat, dan daya beli buruh anjlok. Di sisi lain, pasar domestik dibanjiri produk asing, terutama dari China.
Dua pihak yang semestinya menjadi penggerak ekonomi nasional — pengusaha dan pekerja — kini justru menjadi korban dari kebijakan ekonomi yang salah arah dan tidak berpihak.
Kebijakan Upah yang Menekan, Daya Beli yang Runtuh
Regulasi pengupahan melalui PP No. 78 Tahun 2015 hingga PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (turunan UU Cipta Kerja) terbukti tidak mampu menjaga kesejahteraan buruh.
Selama hampir 10 tahun, pertumbuhan upah tidak sebanding dengan laju inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok. Akibatnya, daya beli masyarakat turun, konsumsi melemah, dan permintaan terhadap produk industri ikut anjlok.
Padahal, dalam kerangka Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, negara wajib menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Ketika kebijakan justru menekan kesejahteraan, maka pemerintah secara moral dan konstitusional telah gagal menjalankan amanat tersebut.
Deindustrialisasi Dini dan Gagalnya Proteksi Industri Nasional
Indonesia sedang mengalami deindustrialisasi dini di mana kontribusi industri manufaktur terhadap PDB terus menurun sebelum mencapai kematangan ekonomi.
Data BPS menunjukkan, kontribusi sektor manufaktur yang pernah menembus 28% pada 2010 kini tinggal di bawah 19%.
Namun, alih-alih memperkuat industri lokal, pemerintah justru membuka kran impor secara masif tanpa perlindungan yang memadai.
Produk China membanjiri pasar domestik, bahkan banyak yang masuk melalui jalur dumping dan illegal import.
Pengusaha lokal dipaksa bersaing dengan barang berharga murah yang disubsidi negara asal — perang dagang yang tidak seimbang.
Dalam hukum, situasi ini bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 dan UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, yang mewajibkan negara melindungi pelaku usaha dalam negeri serta menciptakan persaingan usaha yang sehat.
“Menekan upah tidak menyelamatkan industri — justru mempercepat kehancuran pasar domestik.”
Pengusaha Terjepit, Buruh Terlindas
Banyak pengusaha akhirnya melakukan efisiensi besar-besaran, memangkas tenaga kerja, hingga menutup pabrik dan relokasi ke daerah lain.
Ironisnya, sebagian pengusaha justru mengambinghitamkan upah buruh sebagai biang kerok, padahal masalah utamanya adalah ketidakefisienan struktural dan ketidakpastian kebijakan industri.
Negara dengan upah tinggi seperti Korea Selatan, Jepang, dan Jerman tetap mampu bersaing karena menanamkan nilai tambah melalui teknologi dan riset.
Artinya, masalah industri Indonesia bukan pada buruhnya, tetapi pada strategi industrinya.
Negara Absen di Tengah Perang Dagang
Di tengah arus barang impor yang membanjir, pemerintah tampak pasif.
Padahal, UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian jelas memandatkan negara untuk:
• Memberikan insentif bagi industri lokal,
• Menerapkan kebijakan safeguard dan anti-dumping,
• Mengembangkan teknologi produksi nasional,
• Menjamin keterpaduan hulu–hilir industri.
Namun implementasinya minim.
Alih-alih memperkuat basis produksi nasional, kebijakan justru terjebak pada deregulasi investasi tanpa arah.
Akibatnya, industri lokal bertarung sendirian melawan raksasa global, tanpa perlindungan yang sepadan.
Krisis Kepercayaan dan Tanggung Jawab Negara
Dalam perspektif hukum tata negara, negara tidak boleh absen dari tanggung jawabnya. Keadilan sosial sebagaimana diatur dalam Pembukaan UUD 1945 menuntut adanya keseimbangan antara kepentingan buruh, pengusaha, dan rakyat.
Ketika kebijakan gagal melindungi dua pihak ini, maka negara turut bertanggung jawab atas krisis ekonomi yang terjadi.
“Buruh kehilangan pekerjaan, pengusaha kehilangan pasar, dan negara kehilangan arah ini bukan sekadar masalah ekonomi, tapi kegagalan sistemik kebijakan publik.”
Saatnya Negara Hadir
Sudah saatnya pemerintah berhenti menyalahkan buruh dan berhenti bersembunyi di balik pasar bebas.
Negara harus membatasi masuknya produk asing yang merusak ekosistem industri dalam negeri, memperkuat teknologi produksi nasional, dan membangun kembali kepercayaan antara buruh dan pengusaha.
Karena pada akhirnya, yang menjaga pabrik tetap hidup bukanlah upah murah, melainkan produk yang mampu bersaing di pasar dan kebijakan negara yang berpihak pada rakyatnya.
Jika tidak, maka benar kata masyarakat hari ini:
“Yang tersisa di bumi pertiwi hanyalah dua hal yang dibuat oleh Tuhan, dan yang dibuat oleh China.”