Purwakarta, KPonline – Sejarah bangsa Indonesia mencatat banyak aktor yang terlibat dalam proses panjang menuju kemerdekaan. Nama-nama besar seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, hingga Agus Salim, sering menghiasi buku-buku sejarah. Namun, ada satu kekuatan sosial yang kerap luput dari sorotan, padahal tanpa mereka, roda perjuangan bangsa tidak akan berjalan sebagaimana mestinya, yaitu kaum buruh.
Kaum buruh tidak hanya hadir sebagai pekerja di perkebunan, tambang, pelabuhan, hingga pabrik-pabrik kolonial. Mereka adalah tenaga yang menggerakkan mesin ekonomi penjajah, sekaligus menjadi salah satu kekuatan massa terbesar dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Dari aksi mogok di jalur kereta api, pendirian organisasi buruh, hingga perebutan aset vital pasca-proklamasi, buruh memainkan peran penting dalam perjalanan panjang menuju Indonesia merdeka.
Pada masa penjajahan Belanda, kehidupan buruh Indonesia amat memprihatinkan. Di perkebunan-perkebunan besar milik perusahaan kolonial, buruh bekerja dengan jam kerja panjang, upah rendah, serta tanpa jaminan keselamatan.
Di perkebunan tebu di Jawa Tengah, buruh dipaksa bekerja dari pagi hingga malam dengan upah yang bahkan tidak cukup untuk membeli beras. Di perkebunan tembakau Deli di Sumatera Timur, buruh kontrak dan banyak diantaranya berasal dari Jawa yang dikenal sebagai “kuli kontrak Deli” yang hidup dalam penderitaan luar biasa. Mereka bekerja di bawah sistem kerja paksa dengan hukuman fisik bila melanggar aturan.
Tak hanya di perkebunan, buruh tambang di Ombilin, Sawahlunto, dipaksa masuk ke perut bumi dengan risiko nyawa melayang setiap hari. Buruh tambang batubara ini dikenal dengan sebutan “orang rantai” karena mereka diikat rantai di kaki saat bekerja, layaknya budak.
Situasi ini memperlihatkan bagaimana buruh menjadi kelas yang paling tertindas. Namun, di balik penindasan itu, tumbuh kesadaran baru: bahwa penderitaan mereka bukanlah nasib semata, melainkan akibat dari sistem kolonial yang menindas.
Kemudian, Awal abad ke-20 menjadi titik balik bagi kebangkitan buruh Indonesia. Seiring dengan masuknya ide-ide modern, sosialisme, dan nasionalisme, buruh mulai menyadari pentingnya bersatu dalam organisasi.
Tahun 1908 berdiri organisasi Boedi Oetomo, yang meski lebih banyak diikuti kalangan priyayi, membuka pintu bagi kesadaran nasional. Namun, bagi buruh, wadah perjuangan baru hadir pada 1912 dengan berdirinya Sarekat Islam (SI). Organisasi ini, yang awalnya bergerak di bidang ekonomi, dengan cepat berkembang menjadi organisasi massa terbesar yang banyak menarik simpati buruh dan pedagang kecil.
Kaum buruh kemudian membentuk organisasi yang lebih spesifik. Tahun 1919 berdiri Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB). Tahun 1920 berdiri Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera (PPPB) Puncaknya, tahun 1923, lahir organisasi buruh kereta api bernama Vereeniging van Spoor-en Tramweg Personeel (VSTP) yang dipimpin oleh Semaun, seorang tokoh muda berhaluan kiri.
VSTP inilah yang menjadi salah satu pionir gerakan buruh modern di Indonesia. Anggotanya adalah pekerja kereta api, masinis, montir, hingga buruh tambang batubara. Melalui organisasi ini, buruh mulai belajar berpolitik, berdiskusi tentang hak-hak pekerja, hingga berani melakukan pemogokan.
Pemogokan atau stakings menjadi salah satu bentuk perlawanan utama buruh terhadap kapitalisme kolonial. Mogok bukan sekadar aksi ekonomi, melainkan juga senjata politik yang menantang kekuasaan kolonial.
Salah satu pemogokan terbesar terjadi tahun 1923, ketika buruh kereta api di bawah VSTP mengadakan aksi mogok di berbagai kota, termasuk Semarang, Surabaya, hingga Batavia. Pemogokan ini dipicu oleh rendahnya upah, diskriminasi rasial, dan kondisi kerja yang tidak manusiawi.
Aksi mogok buruh kereta api ini mengguncang pemerintah kolonial. Sebab, kereta api adalah tulang punggung transportasi dan distribusi ekonomi Belanda. Dengan mogoknya pekerja kereta api, jalur distribusi barang-barang perkebunan dan tambang lumpuh total.
Sejarawan Onghokham mencatat, pemogokan VSTP tahun 1923 adalah salah satu pemogokan paling besar dan terorganisir di Asia kala itu. Dari aksi ini, buruh menunjukkan bahwa mereka bukan sekadar tenaga kerja, tetapi juga kekuatan sosial-politik yang bisa menantang penguasa kolonial.
Perjuangan buruh tidak pernah berdiri sendiri. Mereka terhubung erat dengan gerakan nasional yang berkembang pada dekade 1920-an hingga 1940-an.
Semaun, ketua VSTP, saat itu menekankan bahwa perjuangan kelas pekerja tidak bisa dipisahkan dari perjuangan bangsa melawan kolonialisme.
Tokoh lain, Tan Malaka, menulis banyak karya yang menekankan pentingnya buruh sebagai motor revolusi. Dalam bukunya Menuju Republik Indonesia (1925), Tan Malaka menekankan bahwa kemerdekaan sejati hanya bisa dicapai jika buruh memimpin perjuangan bersama kaum tani.
Di sisi lain, organisasi nasionalis seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Soekarno, juga mendapat dukungan dari kalangan buruh. PNI banyak merekrut simpatisan dari organisasi buruh dan tani, serta menjadikan isu kesejahteraan buruh sebagai bagian dari agenda perjuangan.
Dengan demikian, buruh dan gerakan nasional berjalan beriringan: buruh memperkuat basis massa, sementara gerakan nasional memberikan arah politik bagi perjuangan.
Selanjutnya, memasuki masa pendudukan Jepang (1942–1945), kondisi buruh tidak membaik. Jepang bahkan lebih keras mengeksploitasi tenaga kerja Indonesia. Ratusan ribu orang dipaksa menjadi **romusha**, buruh paksa yang dikirim ke proyek-proyek Jepang, mulai dari membangun rel kereta api di Burma, lapangan terbang, hingga bunker pertahanan.
Meski begitu, pendudukan Jepang juga memberi celah bagi tumbuhnya organisasi rakyat. Jepang membentuk organisasi semi-militer dan sosial yang melibatkan rakyat, termasuk buruh. Dari organisasi inilah, buruh banyak belajar tentang disiplin, organisasi, dan militansi.
Menjelang proklamasi 1945, buruh menjadi bagian penting dalam menjaga kelancaran komunikasi dan distribusi. Buruh pos dan telekomunikasi, buruh kereta api, hingga buruh pelabuhan, diam-diam membantu pergerakan pemuda dan tokoh nasionalis dalam menyebarkan informasi kemerdekaan.
Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, kaum buruh tidak tinggal diam. Mereka ikut bergerak mempertahankan republik yang baru lahir.
Di banyak daerah, buruh merebut pabrik-pabrik dan perkebunan dari tangan Jepang dan Belanda. Di Jawa Barat, buruh kereta api mengambil alih depo-depo kereta, mengibarkan Merah Putih, dan memastikan transportasi bekerja untuk republik. Di Sumatera, buruh perkebunan menguasai aset perkebunan dan mendistribusikan hasilnya untuk kepentingan rakyat.
Buruh juga terlibat langsung dalam pertempuran. Banyak buruh pelabuhan di Surabaya yang bergabung dengan laskar rakyat saat pertempuran 10 November 1945. Buruh kereta api memastikan jalur logistik senjata dan makanan tetap berjalan bagi para pejuang.
Salah satu peristiwa penting adalah ketika buruh pos dan telekomunikasi mengambil alih kantor pusat PTT (Pos, Telegraf, dan Telepon) di Bandung dan Jakarta. Dengan penguasaan ini, Republik Indonesia bisa memiliki jaringan komunikasi sendiri, yang vital bagi diplomasi dan koordinasi perjuangan.
Peran buruh dalam kemerdekaan Indonesia membuktikan bahwa kemerdekaan adalah hasil perjuangan kolektif seluruh rakyat, bukan hanya elit politik. Buruh, dengan segala keterbatasan, mampu menunjukkan bahwa mereka adalah bagian penting dari bangsa yang memperjuangkan kebebasan.
Warisan perjuangan ini terus hidup dalam gerakan buruh modern. Aksi mogok, unjuk rasa, hingga pendirian serikat pekerja, semuanya berakar dari semangat perjuangan buruh di era kolonial. Mereka mengingatkan kita bahwa kemerdekaan bukan hanya tentang lepas dari penjajahan asing, tetapi juga perjuangan melawan penindasan, kemiskinan, dan ketidakadilan sosial.
Singkatnya, Sejarah menunjukkan, buruh bukanlah kelompok pinggiran dalam perjuangan bangsa, melainkan salah satu pilar utama. Dari penderitaan di perkebunan kolonial, lahir organisasi buruh. Dari mogok kereta api 1923, lahir kesadaran bahwa buruh bisa melumpuhkan mesin ekonomi penjajah. Dari dukungan pada gerakan nasionalis, lahir kekuatan yang mempersatukan rakyat. Dan dari perebutan aset pasca-proklamasi, lahirlah republik yang berdaulat.
Kini, delapan puluh tahun setelah kemerdekaan, tugas kita adalah menjaga warisan itu. Bahwa buruh tetap harus menjadi bagian dari pembangunan bangsa, dihormati hak-haknya, dan diberi ruang untuk terus berperan dalam demokrasi. Sebab, tanpa buruh, tidak ada Indonesia merdeka.