Medan,KPonline, -Statement Bung Karno tentang pembatasan pengusaha Cina kerap kali dipelintir, dipenggal dari konteks sejarah, lalu dituduh sebagai sikap rasis. Sementara, jika dibaca secara jujur dan utuh, pernyataan itu justru lahir dari keberanian seorang pemimpin revolusioner yang berpihak pada kedaulatan rakyat dan keadilan ekonomi.
Bung Karno tidak sedang membenci etnis tertentu. Ia sedang melawan dominasi ekonomi, bukan identitas ras. Yang ia lawan adalah struktur kolonial yang diwariskan Belanda segelintir elite menguasai perdagangan dan modal, sementara pribumi mayoritas rakyat Indonesia menjadi buruh, kuli, dan penonton di negerinya sendiri.
Kalimat “saya tidak ingin kalian jadi babu di rumah sendiri” adalah jeritan politik. Bung Karno melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kemerdekaan politik tidak otomatis melahirkan kemerdekaan ekonomi. Bendera Merah Putih berkibar, tetapi dapur rakyat tetap dikuasai segelintir pemilik modal. Pasar, distribusi, dan akses ekonomi strategis tidak berada di tangan bangsa sendiri.
Pembatasan yang dilakukan Bung Karno adalah kebijakan afirmatif, bukan diskriminatif. Ia ingin memberi ruang bernapas bagi pengusaha pribumi yang selama ratusan tahun dimatikan oleh sistem kolonial. Tanpa keberpihakan negara, persaingan bebas hanyalah mitos” yang
kuat akan semakin menelan yang lemah”
Bung Karno paham satu hal penting:”Nasionalisme Tanpa kedaulatan ekonomi hanyalah ilusi”
Fakta hari ini justru banyak elit yang mengaku paling Pancasilais dan nasionalis, tetapi gemar menjual aset strategis bangsa. Tambang, energi, pangan, tanah, bahkan laut, diserahkan pada logika pasar dan kepentingan modal besar. Rakyat kembali menjadi buruh murah, kali ini bukan di bawah kolonialisme klasik, melainkan kolonialisme gaya baru,oligarki dan kapitalisme rakus.
Lebih menyedihkan lagi, kritik terhadap dominasi ekonomi sering ditakuti. Siapa pun yang berbicara tentang keadilan struktural segera dituduh anti-investasi, anti-asing, atau bahkan rasis. Padahal, Bung Karno sudah memberi garis tegas, yang harus dilawan adalah ketimpangan, bukan perbedaan suku.
Pesan Bung Karno hari ini terasa semakin relevan. Jika negara tidak hadir membela rakyat kecil, maka kemerdekaan hanya akan menjadi upacara tahunan. Rakyat akan tetap menjadi “babu”, bukan karena bangsa lain, tetapi karena pemimpinnya sendiri memilih tunduk pada modal dan melupakan amanat sejarah.
Bung Karno pernah mengingatkan:”Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah,Perjuangan kalian sulit karena melawan bangsa sendiri”
Apa yang pernah diucapkan oleh Bung Karno pada masa lampau, barangkali, itulah tragedi terbesar Indonesia hari ini.
Sebuah pertanyaan besar yang wajib kita jawab bersama” Haruskah kita terus diam dan membiarkan penjajahan yang dilakukan kapitalis, oligarki dan pejabat korup terus berlangsung, sampai negeri ini hancur berkeping-keping?” (Anto Bangun)