Ketika buruh di Indonesia mendapat kenaikan upah sekitar 6,5 persen untuk tahun 2025, kabar mencengangkan datang dari sebuah negara kecil di Eropa Barat yakni Luksemburg. Negeri dengan luas tak lebih besar dari Provinsi Jawa Barat itu kembali meneguhkan dirinya sebagai salah satu negara dengan standar penghasilan tertinggi di dunia.
Dilansir dari sejumlah laporan ekonomi Eropa, upah minimum di Luksemburg kini mencapai €2.500 per bulan atau setara dengan sekitar Rp43 juta (kurs Rp17.200/€). Angka ini menjadikan Luksemburg sebagai negara dengan gaji minimum resmi tertinggi di Uni Eropa, mengungguli negara-negara besar seperti Jerman, Prancis, maupun Belanda.
Meski jumlah penduduknya hanya sekitar 660 ribu jiwa, Luksemburg dikenal sebagai pusat keuangan internasional dengan standar hidup yang sangat tinggi. Industri perbankan, teknologi informasi, serta jasa keuangan menjadi tulang punggung perekonomian negeri ini.
Pemerintah setempat secara rutin menyesuaikan upah minimum berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Skema penghitungan ini menjamin bahwa daya beli masyarakat tetap terjaga sekaligus mencegah kesenjangan sosial yang terlalu lebar.
Jika dibandingkan, perbedaan upah minimum di Indonesia dan Luksemburg bak bumi dan langit. Saat ini, upah minimum di DKI Jakarta berada pada kisaran Rp5,07 juta per bulan, atau hanya sekitar 12 persen dari standar gaji minimum Luksemburg.
Tak heran jika isu pengupahan kerap menjadi sorotan tajam serikat buruh di tanah air. Buruh menilai kenaikan 6,5 persen yang telah ditetapkan pemerintah daerah maupun pusat masih jauh dari cukup untuk menutup kebutuhan hidup layak.
“Luksemburg bisa menetapkan upah minimum hingga Rp43 juta per bulan karena mereka memandang buruh sebagai investasi manusia, bukan sekadar beban biaya. Ini harus jadi bahan refleksi”
Meski tak realistis jika langsung menyamakan kondisi Indonesia dengan Luksemburg, namun hal ini dinilai penting untuk dijadikan standar internasional sebagai bahan pembanding. Dengan demikian, kebijakan pengupahan tidak melulu terjebak pada angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi domestik, tetapi juga pada pemenuhan kualitas hidup manusia secara layak.
“Poinnya bukan semata angka. Jika di Eropa buruh dihargai dengan €2.500, maka kita di Indonesia juga harus berpikir serius bagaimana pekerja bisa hidup layak, menabung, dan mengakses pendidikan serta kesehatan yang baik”
Perbedaan mencolok ini kembali membuka diskusi tentang bagaimana model pembangunan ekonomi yang pro-buruh bisa diterapkan di Indonesia. Dengan jumlah penduduk pekerja lebih dari 140 juta orang, kebijakan upah yang adil diyakini akan memberi dampak besar terhadap konsumsi, pertumbuhan ekonomi, sekaligus kesejahteraan nasional.
Pada akhirnya, kabar dari Luksemburg ini seakan menjadi tamparan sekaligus motivasi. Bahwa di sebuah negara kecil, upah layak bisa diwujudkan. Dan di negeri sebesar Indonesia, perjuangan buruh masih panjang untuk mewujudkan hal serupa.