Bosan Menjadi Buruh

Bosan Menjadi Buruh

Aku sudah bertahun-tahun menjalani hidup ini: bangun pagi, berangkat kerja, pulang malam dengan tubuh letih, lalu tidur sebentar untuk mengulangnya lagi besok. Hidupku seolah hanya berputar di antara mesin, suara bising, dan waktu yang tak pernah cukup.

Setiap pagi aku melihat wajahku di cermin. Lingkar mata semakin gelap, kulit semakin kusam, tubuh semakin berat melangkah. Aku sering bertanya dalam hati, “Apakah ini yang disebut hidup? Atau aku hanya sekadar bertahan?”

Di tempat kerja, aku hanyalah satu dari ratusan buruh lain. Kami bergerak seperti barisan semut yang diarahkan tanpa henti. Ada jam masuk, ada jam istirahat, ada jam pulang. Hidup kami dipagari oleh aturan-aturan yang tak bisa ditawar. Bahkan jika aku sakit pun, kadang aku harus memaksakan diri datang. Jika tidak, potongan gaji siap menunggu.

Aku bosan. Bosan jadi buruh yang hanya dianggap sebagai tangan dan tenaga, bukan manusia dengan mimpi. Aku bosan menerima gaji yang setiap bulan habis sebelum sempat kusentuh untuk diriku sendiri. Semua lari untuk bayar kontrakan, listrik, air, kebutuhan dapur, biaya sekolah anak. Sering kali aku ingin membeli sesuatu sekadar hadiah untuk diriku sendiri, tapi keinginan itu terkubur oleh kewajiban.

Aku tidak membenci pekerjaan, aku hanya muak dengan rasa terjebak. Rasanya seperti aku berada dalam sangkar yang tak kasat mata. Setiap kali aku beristirahat sejenak, aku mendengar suara-suara mesin memanggil, seolah berkata: “Kembali bekerja, waktumu bukan milikmu.”

Terkadang, aku iri melihat orang-orang yang bisa menentukan waktunya sendiri, yang bisa pulang kapan pun, yang punya kebebasan untuk beristirahat atau berkarya. Aku ingin seperti mereka. Aku ingin hidup yang tidak hanya sekadar menukar waktu dengan upah. Aku ingin punya usaha sendiri, atau pekerjaan yang membuatku merasa berarti, bukan hanya angka di slip gaji.