Jakarta, KPonline-Menjelang tutup tahun, banyak perusahaan sibuk meracik laporan kinerja, membagikan press release pencapaian, dan yang paling ditunggu kalangan pekerja adalah mengumumkan bonus akhir tahun. Namun di balik gegap gempita cerita mereka yang menerima “kue manis” tahunan itu, ada kenyataan getir, yakni sebagian besar kelas pekerja bahkan tidak pernah mencium aroma bonus tersebut, apalagi merasakannya.
Bonus yang digadang-gadang sebagai bentuk apresiasi dan kesejahteraan, bagi sebagian buruh justru menjadi mitos fatamorgana tahunan. Mereka hanya bisa menyaksikan perayaan di perusahaan-perusahaan besar sementara dompet mereka tetap sama tipisnya seperti awal tahun. Tanpa tambahan, tanpa penghargaan, tanpa pengakuan.
Di pabrik, di gudang, di kantor kecil, sampai perusahaan subkontraktor, banyak pekerja yang hanya menerima gaji bulanan yang pas-pasan. Itu pun sering kali terlambat atau dipotong dengan alasan “penyesuaian anggaran”. Bonus akhir tahun? Tidak masuk kamus. Tidak pernah masuk hitungan. Bahkan tidak masuk wacana.
“Bonus itu untuk mereka yang dianggap ‘bernilai’. Sementara buruh? Kami cuma dianggap angka dalam laporan produksi,” keluh seorang pekerja kontrak yang sudah lima tahun bekerja tanpa tahu rasanya apresiasi berbentuk tambahan penghasilan di akhir tahun.
Berbeda dengan perusahaan-perusahaan yang dengan bangga mengumumkan pertumbuhan laba double digit, para pekerja justru harus puas dengan janji-janji manis: “Tahun depan perusahaan pasti membaik”, “Kita semua harus bersabar untuk stabilitas”, atau “Bonus diberikan kalau kondisi memungkinkan”. Ironisnya, kondisi “memungkinkan” itu selalu hanya berlaku untuk pemilik modal dan bukan untuk mereka yang membuat roda produksi berputar.
Bahkan ada perusahaan yang memutarbalikkan logika, dimana bonus hanya diberikan jika pekerja tidak absen, tidak pernah sakit, tidak pernah terlambat, dan performanya dinilai “excellent” oleh atasan. Padahal, syarat itu sering kali mustahil dipenuhi di tengah beban kerja tinggi dan kondisi kerja yang jauh dari ideal.
Sementara itu, kelas pekerja terus menanggung beban inflasi, kenaikan harga bahan pokok, biaya sekolah anak, cicilan rumah, hingga kebutuhan hidup harian yang semakin menggerus pendapatan. Bonus akhir tahun bukan hanya sekadar uang tambahan, tetapi simbol pengakuan atas keringat dan pengorbanan yang mereka berikan sepanjang tahun.
Pertanyaannya kini bagaimana mungkin mereka terus diminta loyal, produktif, dan berdedikasi, jika penghargaan sekecil bonus saja tidak mereka dapatkan?
Ketidakadilan ini semakin terasa ketika buruh membandingkan realitas di lapangan. Ada perusahaan yang mampu membagikan bonus belasan kali gaji, ada yang membagikan tiga kali gaji, dua kali gaji, bahkan perusahaan kecil yang tetap mencoba memberikan satu kali gaji sebagai bentuk apresiasi. Namun ada juga perusahaan dan jumlahnya tidak sedikit yang sejak awal tahun sudah menyiapkan alasan untuk tidak memberikan apa-apa.
Lalu, bagaimana nasib para pekerja yang berada di perusahaan yang selalu “sulit” setiap tahun? Yang selalu beralasan “situasi ekonomi global”, “harga bahan baku naik”, atau “penjualan menurun”, padahal mereka terus menekan buruh untuk menaikkan target produksi tanpa henti?
Fenomena bonus akhir tahun kembali menegaskan satu hal bahwa kesenjangan kelas pekerja masih nyata, dan bentuk kesejahteraan paling dasar pun tidak merata. Bonus seharusnya menjadi wujud penghargaan bagi mereka yang menggerakkan perusahaan, bukan sekadar fasilitas eksklusif untuk segelintir pekerja yang beruntung atau para eksekutif yang duduk di kursi empuk.
Serikat pekerja pun menilai, perusahaan yang menolak memberikan bonus tanpa dasar yang kuat sebenarnya sedang memperlakukan buruh sebagai beban, bukan aset. “Kalau perusahaan bisa berkembang dan tumbuh, di balik itu ada tenaga buruh. Apresiasi terhadap buruh itu wajib, bukan opsional,” kata Fuad BM, Ketua Konsulat Cabang FSPMI Purwakarta.
Di tengah ketimpangan itu, muncul pertanyaan yang tak kalah penting. Kapan bonus akhir tahun ditetapkan sebagai standar minimal kesejahteraan pekerja di Indonesia, bukan sekadar pilihan manajemen?
Karena selama bonus hanya dianggap sebagai ‘hadiah’, bukan kewajiban moral dan sosial perusahaan, maka kelas pekerja akan tetap berada di titik yang sama, yakni bekerja keras sepanjang tahun, tetapi pulang hanya dengan sekantong lelah tanpa ada tambahan penghargaan di akhir perjalanan itu.
Sampai saat itu tiba, bonus akhir tahun akan tetap menjadi kemewahan yang hanya bisa dinikmati sebagian, sementara sebagian lainnya hanya bisa berkata: “Selamat untuk kalian yang mendapatkannya. Kami? Kami tetap bekerja tanpa bonus, tanpa keluhan, tapi juga tanpa keadilan”.