Jakarta, KPonline – Berkaca pada kasus tiga buruh di pabrik pengisian gas elpiji di Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, pada beberapa tahun lalu (2022) yang menang di pengadilan hubungan industrial (PHI) Bandung, yang kemudian dikuatkan oleh putusan Mahkamah Agung. Semestinya Mahkamah Agung pun bersikap sama terhadap dua pekerja Yamaha yakni Bambang dan Wiwin yang juga menang di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Bandung pada 3 September 2025.
Cerita beberapa tahun lalu itu bermula dari tiga orang buruh, yaitu Suherlan Budiansyah (38), Erguna Surbakti (37), dan Yuli Rahmat Syah (37) yang semula di-PHK sepihak oleh perusahaan, berhasil memenangkan gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Bandung. Putusan tersebut memerintahkan pembayaran pesangon dan kompensasi bagi ketiganya, dengan total nominal yang menyentuh ratusan juta rupiah. Putusan itu bahkan dikuatkan di tingkat Mahkamah Agung.
Dan kini, pergulatan keadilan serupa terjadi pada dua pekerja PT Yamaha Music Manufacturing Asia (YMMA) yakni Slamet Bambang Waluyo dan Wiwin Zaini Miftah. PHI Bandung memutuskan bahwa PHK keduanya tidak sah dan batal demi hukum; majelis hakim mewajibkan perusahaan untuk mempekerjakan kembali serta membayar upah tertunggak.
Namun, konsistensi pengadilan tingkat lebih tinggi dan kepastian pelaksanaan tetap menjadi persoalan terlebih ketika perusahaan mengajukan kasasi.
Alhasil, menang di pengadilan PHI belum tentu sama dengan mendapatkan keadilan riil di MA. Untuk itu, Putusan MA seharusnya bukan sekadar kertas legitimasi, melainkan titik tolak untuk penegakan hak yang nyata, termasuk denda, dwangsom, atau tindakan langsung untuk melindungi pihak yang kalah secara ekonomis lemah.
Ada dua pelajaran dari peristiwa ini. Pertama, perlunya mekanisme eksekusi yang cepat dan tegas ketika putusan pengadilan ketenagakerjaan memenangkan pekerja. Kedua, Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan harus menunjukkan konsistensinya, tidak cukup sekadar menguatkan putusan di tingkat kasasi atau MA; yang lebih penting adalah memastikan putusan mampu dilaksanakan termasuk memberi efek jera kepada perusahaan yang mengabaikan putusan pengadilan.
Serikat pekerja dan aktivis hak buruh menuntut agar putusan yang memenangkan pekerja tidak diperlakukan sebagai kemenangan simbolik. Mereka menuntut adanya mekanisme perlindungan pelaksanaan putusan, misalnya: pengenaan denda tinggi (dwangsom) yang efektif, pembekuan izin operasional perusahaan yang melanggar, atau intervensi kementerian terkait bila perusahaan menolak melaksanakan putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Sebab, tanpa langkah-langkah konkret itu, hukum akan tetap menjadi permainan surat keputusan bagi mereka yang mampu membeli waktu dan strategi hukum.
Bagi publik, ada pesan moral yang sederhana tapi menggigit. Hukum harus menjadi instrumen perlindungan, bukan alat peras bagi yang lemah.
Ketika putusan pengadilan dapat diabaikan tanpa konsekuensi, maka legitimasi institusi penegak hukum sendiri tergerus.
Kasus Padalarang dan perjuangan Bambang serta Wiwin di PHI Bandung semestinya menjadi momen introspeksi, bukan hanya bagi pengadilan, tetapi juga bagi pembuat kebijakan, penegak hukum, dan publik luas. Pertanyaannya kini apakah kita rela melihat keadilan diperdagangkan di meja tawar modal?
Menutup artikel ini, hukum tak boleh jadi alat intimidasi. Jika MA sudah menegakkan hasil PHI untuk tiga buruh elpiji, maka semestinya sikap itu juga berlaku konsisten pada putusan PHI Bandung yang memihak kepada Bambang dan Wiwin. Karena Konsistensi itulah yang akan mengubah kemenangan di buku putusan menjadi kehidupan layak sehari-hari bagi pekerja. Tanpa itu, kemenangan hukum hanya jadi ilusi dan para buruh, yang berjuang untuk sesuap nasi dan martabat, akan terus menjadi pihak paling dirugikan dalam permainan hukum yang timpang.