Medan,KPonline, – Setiap kali bencana terjadi, selalu ada narasi instan yang disodorkan kepada publik: “Ini murni bencana alam akibat hujan ekstrem.”Kalimat klise ini terus diulang tanpa rasa bersalah, seolah-olah alam adalah satu-satunya terdakwa yang harus dimintai pertanggung jawaban, sementara manusia, terutama para pengambil kebijakan dibebaskan dari segala tanggung jawab. Padahal fakta di lapangan justru menunjukkan sebaliknya.
Bencana bukanlah peristiwa yang lahir tiba-tiba dari kemurkaan alam, melainkan buah dari keserakahan, kelalaian, dan keputusan-keputusan manusia yang merusak ekosistem. Ketika keseimbangan alam dihancurkan secara sistematis, maka bencana hanyalah soal waktu.
Hutan yang gundul bukan kehendak alam. Ia adalah hasil dari kerakusan manusia, dari izin-izin serampangan yang lahir di meja pejabat, dari kongkalikong kekuasaan dan modal, serta dari pembiaran yang disengaja. Negara tahu, tetapi memilih diam. Aparat melihat, tetapi berpaling.
Sungai yang meluap bukan semata karena hujan deras, melainkan karena disempitkan oleh bangunan, dicekik oleh sedimentasi tambang, dan dijadikan tempat pembuangan sampah. Tanah longsor bukan sekadar takdir geologis, melainkan akibat pembukaan lahan tanpa perhitungan dan pengabaian total terhadap daya dukung lingkungan.
Alam tidak pernah menyerang, alam hanya bereaksi. Manusialah pemicunya.
Yang lebih menyedihkan, setelah bencana terjadi, negara sering kali hadir bukan sebagai pelindung yang bertanggung jawab, melainkan sebagai aktor yang sibuk merawat citra. Kamera dinyalakan, bantuan dibagikan, pidato penuh empati disampaikan, lalu perlahan semua dilupakan. Tidak ada evaluasi menyeluruh, tidak ada penindakan tegas terhadap pelaku perusakan lingkungan, tidak ada perubahan kebijakan yang mendasar.
Siklus ini terus berulang, bencana datang, korban berjatuhan, infrastruktur hancur, lalu amnesia kolektif dan pemerintah datang melakukan pencitraan.
Bencana pada akhirnya menjadi cermin paling jujur tentang watak, karakter para pengelola negara, rakus, tamak, abai, miskin nurani kemanusiaan, dan buas seperti serigala lapar.
Ketika keselamatan rakyat dikorbankan demi investasi, ketika hukum tunduk pada modal, dan ketika lingkungan direduksi menjadi komoditas semata, maka bencana bukan lagi peristiwa luar biasa. Ia adalah konsekuensi logis.
Rakyat harus menolak narasi penguasa yang selalu menyalahkan alam. Rakyat harus berani bersikap dan bertindak, menuntut pertanggungjawaban penyelenggara negara atas hutan yang digunduli, sungai yang dirusak, dan tambang-tambang ilegal yang dibiarkan tumbuh subur.
Bencana adalah akumulasi dari keputusan manusia,keputusan yang salah, serakah, dan penuh pengabaian. Selama manusia menolak bertanggung jawab, selama negara gagal menegakkan hukum dan melindungi ruang hidup rakyat, bencana akan terus datang, bukan sebagai peringatan, melainkan sebagai hukuman atas kesalahan yang sengaja dan terus-menerus diulang. (Anto Bangun)