Medan,KPonline, – Banjir bandang yang menghilangkan nyawa, menghancurkan rumah, menenggelamkan harapan, dan merenggut masa depan rakyat bukanlah semata-mata “bencana alam”. Ia adalah bencana politik, lahir dari proses panjang yang dibangun oleh budaya transaksional dalam setiap musim pemilu.
Setiap lima tahun, rakyat dijejali sembako murahan, amplop recehan, dan janji-janji manis yang sudah basi sejak sebelum diucapkan.
Para calon datang membawa senyum penuh kepalsuan, berpura-pura peduli pada rakyat kecil, padahal mereka hanya menabur “umpan murah” untuk membeli masa depan seluruh daerah.
Dan rakyat yang letih, miskin, serta jenuh oleh janji, terpaksa menerima, sebagian karena butuh, sebagian lagi karena merasa tidak punya pilihan. Tetapi ada harga mahal yang harus dibayar dari sebuah keputusan murah. Harga itu bukan lagi sekadar rupiah melainkan nyawa, tanah, dan masa depan anak-anak.
Ketika suara rakyat dibeli, maka penguasa yang terpilih merasa tidak perlu bertanggung jawab. Mereka tidak wajib membangun, tidak perlu menjaga hutan, tidak harus memperbaiki tata ruang. Mereka merasa telah “membayar lunas” rakyat dengan sembako, serta uang receh dan setelah menang, rakyat dianggap tidak lagi punya hak untuk menagih.
Lalu apa yang terjadi?
Hutan habis dijarah atas nama izin,
sungai dipersempit demi proyek,
Gunung dikoyak tambang tanpa pengawasan, lahan resapan berubah jadi beton dan vila mewah.
Ketika musim hujan datang, semua keserakahan itu berubah menjadi banjir bandang mematikan. Air yang seharusnya diserap hutan, sekarang mengalir liar, membawa lumpur dan kehancuran ke rumah-rumah rakyat. Dan ironisnya, para pejabat yang menutup mata terhadap perusakan itu kemudian kembali tampil di hadapan kamera, membagikan bantuan sembako sama seperti saat kampanye.
Siklus itu terus berulang:
Sembako dan uang receh saat pemilu 👉 izin rakus setelah menang 👉 banjir bandang 👉 sembako murahan dan uang receh lagi.
Sebuah opera duka yang dimainkan dengan skenario yang sama, penonton yang sama, dan korban yang selalu rakyat miskin.
Bencana banjir bandang bukan hanya persoalan cuaca. Ini adalah cermin dari politik murahan yang telah merusak akal sehat bangsa. Selama suara rakyat masih dihargai dengan “harga pasar”, selama masa depan dipertukarkan dengan uang receh, maka setiap tetes hujan akan mengingatkan kita pada satu hal yakni bencana banjir bandang.
Bukan alam yang mengkhianati kita, tetapi kita sendirilah yang menyerahkan daerah ini kepada tangan – tangan yang salah, para pejabat serakah yang tidak punya moral.
Pemilu 2029 masih jauh, waktu yang panjang ini akan dimanfaatkan para bandit politik untuk memastikan rakyat melupakan banjir November 2025 bencana mematikan yang menghajar ribuan rumah dan menghabisi ribuan nyawa setelah ratusan kayu gelondongan menerobos pemukiman seperti amukan setan.
Dan seperti biasa, ketika musim pencitraan datang, para bajingan itu akan tampil lagi dengan wajah dipoles, penuh kebohongan. Mereka akan menebar pesona murahan, memamerkan senyum plastik, dan membagi-bagikan sembako kelas rendahan serta uang recehan hina, seolah harga nyawa dan penderitaan rakyat bisa dibayar dengan mie instan dan uang dua ribuan.
Rakyat yang dipaksa miskin akibat sistem yang busuk terpaksa menyambutnya dengan senyum pahit. “Lumayan buat hidup seminggu,” kata mereka. Sebuah kalimat yang lahir dari keputusasaan, bukan dari penghargaan.
Lalu tragedi itu pun perlahan terkubur, ratusan batang kayu yang menghantam rumah-rumah, ribuan nyawa yang hilang, tangis yang tak pernah didengar, semuanya ditelan lupa. Para pelaku kejahatan ekologi cuci tangan, para pejabat pura-pura tidak tahu, dan para calon pemimpin kampanye seolah mereka pahlawan.
Dan begitulah bangsa ini berputar dalam lingkaran busuknya, bencana terjadi, rakyat menderita, penguasa bersembunyi, lalu kembali muncul dengan kotak sembako, membeli suara dengan harga yang bahkan lebih murah dari harga martabat manusia. (Anto Bangun)