Purwakarta, KPonline – Mahkamah Agung (MA) menegaskan bahwa upaya hukum dalam perkara Perselisihan Hak dan Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) hanya dapat ditempuh hingga tingkat kasasi saja. Dengan demikian, permohonan peninjauan kembali (PK) terhadap perkara hubungan industrial dinyatakan tidak dapat diterima atau niet ontvantkelijk verklaard.
Putusan penting ini kembali menegaskan batas akhir penyelesaian perkara ketenagakerjaan sesuai dengan Pasal 110 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).
Kasus ini bermula dari gugatan delapan orang karyawan terhadap PT Tridiantara Alvindo, sebuah perusahaan yang beroperasi di Pekanbaru. Delapan karyawan tersebut, termasuk Ade Chandra dan Ricky Santoso, mengajukan gugatan atas dasar terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan, serta tuntutan atas hak-hak normatif yang belum dibayarkan.
Dalam gugatan yang diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri Pekanbaru, para penggugat menuntut pembayaran kekurangan upah, pesangon, dan penghargaan masa kerja, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
PHI Pekanbaru melalui putusan tingkat pertama mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian, dan memerintahkan PT Tridiantara Alvindo untuk membayar total hak-hak karyawan sebesar Rp2.193.908.219,00.
Tidak terima dengan putusan tersebut, pihak perusahaan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, MA menolak permohonan kasasi yang diajukan PT Tridiantara Alvindo, hanya memperbaiki amar putusan dengan menyesuaikan jumlah total pembayaran menjadi Rp1.344.540.719,00.
Dengan putusan kasasi tersebut, perkara semestinya telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Namun, pihak perusahaan masih berupaya mencari jalan hukum lain dengan mengajukan peninjauan kembali (PK).
Dalam pemeriksaan tingkat peninjauan kembali, Mahkamah Agung menolak untuk memeriksa substansi perkara dan menyatakan permohonan PK tidak dapat diterima (niet ontvantkelijk verklaard).
MA menegaskan bahwa Pasal 110 UU Nomor 2 Tahun 2004 sudah dengan jelas mengatur pembatasan upaya hukum untuk perkara Perselisihan Hak dan Perselisihan PHK hanya sampai pada tingkat kasasi.
Pasal tersebut berbunyi:
“Terhadap putusan Pengadilan Hubungan Industrial mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diajukan kasasi.”
Artinya, setelah kasasi diputus, tidak ada lagi ruang bagi pihak yang kalah untuk mengajukan PK, sebagaimana lazimnya berlaku dalam perkara perdata umum Mahkamah Agung dalam putusannya juga mengacu pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2018, yang memperkuat pembatasan tersebut. SEMA ini menegaskan bahwa:
“Dalam perkara hubungan industrial, Mahkamah Agung tidak menerima permohonan peninjauan kembali terhadap putusan kasasi yang sudah berkekuatan hukum tetap, baik dalam perkara perselisihan hak maupun perselisihan PHK.”
Pertimbangan ini dilandasi pada asas peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dengan demikian, perkara hubungan industrial harus diputus tanpa berlarut-larut, mengingat hubungan kerja menyangkut kelangsungan hidup pekerja dan keluarganya, serta stabilitas hubungan industrial di perusahaan.
Keputusan ini membawa implikasi penting bagi dunia ketenagakerjaan. Bagi perusahaan maupun pekerja, putusan kasasi merupakan titik akhir dalam sengketa hubungan industrial.
Dengan pembatasan ini, tidak ada lagi ruang hukum bagi pihak yang kalah untuk mencari celah perlawanan lewat PK. Tujuannya adalah menjaga kepastian hukum dan mencegah penyelesaian yang berlarut-larut.
Seorang pakar hukum ketenagakerjaan, Dr. Syaiful Anwar, menilai bahwa langkah MA ini konsisten dengan semangat UU PPHI.
“Kalau sampai dibuka ruang PK, perkara hubungan industrial bisa berlangsung bertahun-tahun. Ini jelas bertentangan dengan prinsip cepat dan sederhana yang dijamin undang-undang,” ujarnya.
Menurutnya, hubungan industrial adalah bidang hukum yang menyentuh langsung aspek kesejahteraan rakyat pekerja, sehingga penyelesaiannya harus cepat agar pekerja tidak terkatung-katung tanpa kepastian.
Meskipun sebagian kalangan menilai pembatasan upaya hukum ini dapat membatasi hak pihak yang kalah, Mahkamah Agung menegaskan bahwa kepastian hukum dalam perkara hubungan industrial lebih utama dibandingkan membuka ruang sengketa yang tiada akhir.
Dalam banyak kasus, sengketa PHK melibatkan pekerja yang kehilangan penghasilan utama. Bila perkara berlarut hingga bertahun-tahun, hal itu dapat menimbulkan beban ekonomi dan sosial yang berat.
“Kepastian bagi pekerja dan pengusaha jauh lebih penting. Kasasi sudah menjadi forum tertinggi untuk menguji kebenaran hukum dari putusan PHI,”
Putusan Mahkamah Agung dalam perkara PT Tridiantara Alvindo menjadi contoh nyata penerapan ketentuan Pasal 110 UU PPHI secara konsisten.
Kasus ini memperlihatkan bagaimana MA berperan menjaga disiplin hukum acara, sekaligus mempertegas bahwa mekanisme penyelesaian hubungan industrial telah memiliki batas akhir yang pasti.
Hal ini juga menjadi peringatan bagi seluruh pihak, baik pekerja maupun pengusaha untuk mematuhi proses hukum yang berlaku, serta mempersiapkan seluruh bukti dan argumentasi dengan matang sejak di tingkat pertama dan kasasi.
Dengan dinyatakannya permohonan PK tidak dapat diterima, Mahkamah Agung menutup ruang peninjauan kembali dalam perkara hubungan industrial yang menyangkut perselisihan hak dan perselisihan PHK.
Pembatasan hingga tingkat kasasi semata-mata bertujuan untuk menjaga kecepatan, kepastian, dan keadilan substantif dalam penyelesaian sengketa ketenagakerjaan di Indonesia.
Perkara PT Tridiantara Alvindo melawan delapan karyawan ini menjadi preseden penting, bahwa di ranah hubungan industrial, kasasi adalah garis akhir tempat di mana hukum memberikan kepastian, dan keadilan menemukan bentuknya.