Jakarta,KPonline – Amerika Serikat menolak masuknya udang dari Indonesia setelah ditemukan kandungan radioaktif Cesium-137 (Cs-137) dalam salah satu kontainer ekspor. Keputusan ini berpotensi mengancam sekitar satu juta pekerja di sektor perikanan dan industri terkait.
Hampir 70 persen ekspor udang Indonesia ditujukan ke AS, dengan nilai devisa mencapai USD 2,2 miliar per tahun. Udang selama ini menjadi komoditas unggulan ekspor nonmigas setelah sawit. Produksi udang nasional pada 2023 mencapai sekitar 1,09 juta ton, naik dibanding tahun 2021 sebesar 953 ribu ton. Pemerintah bahkan menargetkan produksi bisa menembus 2 juta ton pada 2024.
Selain Amerika Serikat yang menjadi pasar terbesar, udang Indonesia juga diekspor ke Jepang, Uni Eropa, Tiongkok, serta sejumlah negara ASEAN. Namun, porsi ekspor ke negara-negara selain AS masih jauh lebih kecil; misalnya ke Tiongkok hanya sekitar 2 persen.
Kasus bermula pada Juli lalu ketika otoritas AS mendeteksi Cs-137 dalam kontainer udang milik PT Bahari Makmur Sejati (BMS). Perusahaan ini merupakan eksportir besar dengan fasilitas pengolahan di Surabaya, Banyuwangi, Medan, dan Cikande, Serang. Dugaan sumber kontaminasi berasal dari lingkungan sekitar pabrik pengolahan di Cikande.
Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) yang melakukan investigasi menemukan kadar Cs-137 melebihi ambang batas di area sekitar PT Peter Metal Technology (PMT), sebuah pabrik peleburan baja di kawasan industri Cikande. Radiasi diduga menempel pada kontainer pengangkut udang PT BMS hingga terbawa ke AS.
Akibat temuan tersebut, pemerintah AS memerintahkan pemusnahan produk udang yang sudah masuk ke jaringan ritel, termasuk Walmart, serta memulangkan ratusan kontainer yang masih dalam perjalanan. Selain melarang seluruh ekspor udang Indonesia, AS kini juga mewajibkan sertifikasi bebas radioaktif selain pemeriksaan FDA.
Ketua Umum Asosiasi Udang Indonesia, Prof. Dr. Andi Tamsil, menilai pemerintah lamban melakukan diplomasi. Menurutnya, hanya udang dari BMS yang terdampak, sementara produk dari pabrik lain tetap aman. “Harusnya sejak awal ada langkah diplomasi dagang dengan AS,” ujarnya.
Indonesia kini menghadapi risiko kehilangan pasar utama, devisa miliaran dolar, serta potensi pemutusan hubungan kerja massal. Pesaing utama seperti Ekuador, Vietnam, India, dan Thailand diperkirakan akan memanfaatkan situasi ini untuk menguasai pasar AS.



