Apakah Bonus AdalahHak Normatif Buruh?, Ini Penjelasan Anto Bangun KC FSPMI Labuhanbatu

Apakah Bonus AdalahHak Normatif Buruh?, Ini Penjelasan Anto Bangun KC FSPMI Labuhanbatu

Medan, KPonline – Kurangnya pemahaman buruh terhadap regulasi ketenagakerjaan kerap menjadi dilema tersendiri. Situasi ini sering dimanfaatkan oleh oknum pengurus serikat buruh untuk menggiring aksi industrial dengan dalih memperjuangkan hak-hak normatif. Padahal, tujuan tersembunyi dari aksi tersebut tak jarang lebih bersifat politis,yakni untuk mempertahankan eksistensi dan posisi tawar para pengurus serikat buruh di mata pengusaha.

Salah satu isu yang sering disalahpahami adalah mengenai bonus tahunan. Banyak buruh yang menganggap bonus sebagai hak normatif yang wajib diberikan oleh pengusaha, padahal faktanya bonus bukanlah hak normatif dan hal ini diatur secara mutlak dalam regulasi tentang ketenagakerjaan.

Mengacu pada Pasal 11 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan sebagaimana telah diubah dengan PP No. 51 Tahun 2023, dinyatakan bahwa:

“Bonus dapat diberikan oleh Pengusaha kepada pekerja/buruh atas keuntungan perusahaan”

Penggunaan kata “dapat” dalam regulasi tersebut mengartikan bahwa pemberian bonus bersifat opsional, bukan kewajiban. Artinya, pengusaha memiliki keleluasaan untuk memberikan atau tidak memberikan bonus, tergantung pada kondisi keuangan perusahaan dan kebijakan internal di masing-masing perusahaan.

Situasi berbeda berlaku apabila pengaturan mengenai bonus baik formula perhitungannya serta denda yang disepakati antara pengusaha dengan buruh/ serikat buruh dan telah ditegaskan dalam Perjanjian Kerja (PK), Peraturan Perusahaan (PP), atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

Jika bonus sudah menjadi bagian dari kesepakatan formal , maka sifatnya berubah menjadi wajib bayar bagi pengusaha dengan catatan perusahaan memperoleh keuntungan.

Prinsip wajib bayar ini sejalan dengan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menegaskan bahwa:

“Setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Asas pacta sunt servanda (perjanjian harus ditepati) mengikat kedua belah pihak baik pengusaha maupun pekerja untuk menjalankan isi perjanjian secara konsisten dan bertanggung jawab.

Lalu, bagaimana jika pengusaha tidak membayar bonus yang telah diperjanjikan?

Jika pengusaha tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana tertuang dalam perjanjian, maka hal tersebut termasuk wanprestasi (ingkar janji). Dalam konteks ini, buruh atau serikat buruh berhak menempuh jalur hukum perdata, baik melalui:

  • Gugatan ganti kerugian,
  • Pembatalan perjanjian, maupun
  • Langkah-langkah hukum lainnya.

Perlu digarisbawahi bahwa wanprestasi bukan merupakan tindak pidana. Oleh karena itu, pengusaha yang tidak membayar bonus sesuai perjanjian tidak dapat dituduh melakukan perbuatan tindak pidana kejahatan melakukan penipuan atau penggelapan.

Mengadukan permasalahan bonus ke DPR bukanlah sebuah solusi.

Dalam dinamika hubungan kerja antara pengusaha dengan buruh, terkait dengan permasalahan bonus atau perselisihan hak dan kepentingan lainnya selalu menjadi isu yang sensitif antara buruh dan pengusaha.

Ketika terjadi ketidaksepakatan atau ketidakpuasan, langkah yang diambil untuk menyelesaikan masalah tersebut seharusnya tetap berada dalam koridor hukum ketenagakerjaan dan mekanisme yang sudah diatur, bukan dengan membawa permasalahan ke lembaga legislatif yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baik pusat maupun daerah.

Mengadukan persoalan bonus ke DPR bukanlah solusi yang tepat. DPR adalah lembaga pembuat undang-undang dan pengawas pelaksanaan kebijakan negara, bukan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial secara teknis.

Permasalahan seperti bonus lebih tepat diselesaikan melalui mekanisme bipartit, tripartit, atau melalui Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Jika setiap persoalan ketenagakerjaan dibawa ke ranah politik, dikhawatirkan penyelesaian yang dihasilkan tidak berdasar pada substansi hukum, melainkan pada kepentingan-kepentingan lain yang justru bisa merugikan kaum buruh maupun pengusaha dalam jangka panjang.

Buruh ataupun serikat buruh seharusnya tetap menjunjung tinggi asas musyawarah, dialog sosial, dan penyelesaian secara profesional.

Serikat buruh memiliki peran strategis dalam memperjuangkan hak-hak buruh, termasuk menyangkut bonus. Namun perjuangan itu harus dilakukan melalui jalur yang tepat, berdasarkan regulasi dan dengan pemahaman yang komprehensif. Jika tidak, perjuangan buruh atau serikat buruh hanya akan terjebak dalam simbolisme perjuangan tanpa hasil yang nyata.(MP)