Anto Bangun KC FSPMI Labuhanbatu :  Undang-Undang Perampasan Aset dan Ketakutan DPR

Anto Bangun KC FSPMI Labuhanbatu :  Undang-Undang Perampasan Aset dan Ketakutan DPR

Medan,KPonline, – Undang-Undang Perampasan Aset seharusnya menjadi senjata ampuh dalam pemberantasan korupsi dan bukan sekadar untuk memberi hukuman penjara, tetapi mengembalikan harta hasil kejahatan kepada negara sehingga muncul efek jera yang nyata bagi pelakunya.

Kenyataan pahit yang harus dirasakan oleh rakyat negeri ini, banyak kasus korupsi besar berakhir dengan vonis ringan dan tanpa pemulihan kerugian negara. Uang haram lenyap, aset disamarkan atas nama keluarga, kerabat, atau perusahaan cangkang yang aktivitasnya samar. Korupsi tidak hanya menghukum kantong negara, ia merobek kepercayaan publik dan mengerdilkan layanan dasar masyarakat, kesehatan, pendidikan, perlindungan sosial dan hidup aman nyaman bebas dari ancaman dari pelaku kejahatan.

Dengan diterapkannya Undang-Undang Perampasan Aset, negara memiliki instrumen hukum untuk mengejar dan merampas kekayaan yang jelas berasal dari tindak pidana, bahkan sebelum vonis pidana berkekuatan tetap. Ini bukan bentuk hukuman alternatif yang sembrono, tetapi upaya pemulihan aset, pengembalian uang negara yang dirampok paksa oleh koruptor, sehingga para koruptor tidak ada lagi yang pulang dari penjara membawa keuntungan dari hasil usaha kriminal.

Tetapi yang paling menarik dan yang sangat memprihatinkan adalah sikap ragu dan ketakutan di kalangan DPR itu sendiri, diskusi yang berlarut – larut suara-suara kritis yang lebih mirip perlawanan, dan argumen “bisa disalahgunakan” menjadi alasan klasik untuk menunda pengesahan dan penerapan Undang- Undang Perampasan Aset, sehingga menimbulkan sebuah kecurigaan, jangan- jangan alasan klasik tersebut isi sebenarnya menjelaskan.

“Tolong jangan usik rekening kami yang di dalam negeri dan yang diluar negeri, jangan buka-buka darimana asal properti, sertifikat hak milik atas nama keluarga, sederet mobil mewah yang digarasi tanpa jejak gaji, sebab semua itu sama dengan merampas masa depan cucu kami”

Selanjutnya, kalau benar DPR itu sejatinya wakil rakyat dan serius mau melindungi rakyat, seharusnya DPR itu yang paling keras berteriak agar Undang-Undang Perampasan Aset segera disahkan kemudian diterapkan, namun kenyataannya dari Tahun 2009 hingga sekarang lebih dari satu dekade tidak ada kejelasan dari DPR.

Ketakutan DPR terhadap Undang-Undang Perampasan Aset sangatlah mendasar sebab bila undang-undang tersebut disahkan sama saja DPR melakukan bunuh diri berjamaah, hal ini dikarenakan DPR salah satu lembaga terkorup yang secara otomatis dihuni banyak koruptor.

Selain DPR pejabat eksekutif dan yudikatif juga banyak yang korup sehingga memiliki kecemasan dan ketakutan yang sama dengan DPR.

Dapat dibayangkan, bila anggota parlemen, pejabat eksekutif dan yudikatif yang memiliki aset tidak sesuai profil penghasilan, properti mewah, deretan kendaraan, rekening berisi dana besar saat dilakukan pemeriksaan aset kemudian dituntut pertanggungjawaban, maka wajarlah bila mereka lebih memilih mengulur waktu atau memelintir substansi aturan, ketimbang menjadikan Undang-Undang ini sebagai instrumen penegakan hak publik.

Fenomena ini merupakan sebuqmah bukti yang sangat mengerikan, bahwa korupsi telah mengakar hingga ke ruang pembuat undang-undang. Ketika pembuat hukum enggan mengesahkan peraturan yang membahayakan kepentingan pribadi, rakyat jelas kehilangan wakil yang memperjuangkan kepentingan umum.

Rakyat sudah muak, Korupsi adalah akar kemiskinan struktural, seluruh anggaran yang peruntukannya demi kesejahteraan rakyat dipangkas dan dirampok dengan kasar, sementara segelintir pejabat menikmati fasilitas berlimpah. Undang-Undang Perampasan Aset seharusnya menjadi jawaban supaya setiap rupiah hasil korupsi kembali ke kas negara, bukan sekadar menghukum pelaku dengan menjebloskannya kebalik jeruji.

Kondisi yang paling menyakitkan hati rakyat adalah pada saat rakyat menuntut transparansi, DPR sibuk menghitung risiko pribadi. Mereka tampak lebih takut kehilangan aset daripada kehilangan kepercayaan rakyat.

Sebuah pertanyaan untuk semua rakyat yang harus dijawab: Apakah undang-undang ini tetap menjadi sandiwara, terus ditunda dan dipelintir sampai kehilangan taringnya?

Harusnya rakyat tidak perlu diam berlama-lama, ada jalan konstitusional dan damai untuk menuntut perubahan, advokasi publik yang terorganisir, demonstrasi damai, tekanan melalui media dan jejaring sosial, permintaan keterbukaan rapat-rapat pembahasan, penggunaan mekanisme hukum untuk menguji kelembagaan, serta akuntabilitas melalui proses pemilu, wajib untuk terus dilakukan rakyat tanpa jeda

Para legislator harus diingatkan bahwa mandat mereka berasal dari rakyat, dan rakyat berhak menuntut transparansi serta pemulihan kerugian negara.

Tidak ada solusi instan, namun satu hal jelas, jika pembuat undang-undang memilih melindungi harta haram dengan alasan “hukum bisa disalahgunakan”, maka rakyat harus menuntut agar hukum bukan dipelintir menjadi perisai bagi koruptor melainkan menjadi alat penegakan keadilan.

Rakyat menunggu dan akan mengingat siapa yang berdiri bersama kepentingan publik, dan siapa yang memilih melindungi kepentingan pribadi. (Anto Bangun)