Anto Bangun KC FSPMI Labuhanbatu : Sang Pengemis Suara itu, Sejatinya Penipu Rakyat

Anto Bangun KC FSPMI Labuhanbatu : Sang Pengemis Suara itu, Sejatinya Penipu Rakyat

Medan,KPonline, – Saat musim pemilu lima tahunan tiba, jalanan mendadak ramai dengan poster bergambar wajah-wajah yang sebelumnya tidak pernah dilihat oleh rakyat.

Wajah-wajah dalam poster itu kemudian datang menemui rakyat dengan senyum manis, janji-janji mulia, dan kata-kata yang terdengar bak puisi perjuangan, merendahkan dirinya dihadapan rakyat, mencium tangan orang tua, menggendong bayi, bahkan tidak segan duduk di warung kopi atau bersantap di gubuk reyot demi satu hal, mendapatkan empati dan suara dari rakyat.

Mereka adalah sang pengemis suara, tidak seperti pengemis pada umumnya yang biasa meminta uang receh di lampu merah.

Mereka adalah pengemis yang sangat lihai, meminta kepercayaan, memohon dukungan, menjanjikan perubahan, datang seakan-akan peduli, mengaku sebagai penyelamat, dan berbicara tentang masa depan yang gemilang. Padahal, semua itu hanyalah sandiwara murahan yang berulang setiap lima tahun sekali.Mereka menjadikan rakyat sebagai panggung, penderitaan rakyat dijadikan properti, kemiskinan dijadikan alat dagang.

Di balik tutur kata manisnya kepada rakyat tersimpan niat yang busuk, yakni untuk mendapatkan kekuasaan demi kepentingan dirinya, golonganya dan kelompoknya.

Saat kursi empuk kekuasaan sudah mereka duduki, semua janji manis yang pernah mereka ikrarkan tinggal janji, suara rakyat berubah menjadi angka statistik yang mereka lupakan. Sang pengemis suara menjelma menjadi penguasa arogan, lupa pada wajah-wajah yang dulu mereka dekati saat memohon dan mengemis suara.

Pengemis suara itu sejatinya adalah penipu rakyat, penipu yang tidak hanya menguras uang rakyat melalui korupsi, tetapi juga mencuri harapan, merampas kepercayaan, dan membunuh idealisme. Mereka membuat rakyat terperangkap dalam siklus kebohongan, di mana setiap pemilu selalu ada janji baru yang kemudian diingkari.

Dan tragisnya, rakyat sering kali lupa, terbuai oleh rayuan yang sama. Padahal, realitas selalu membuktikan, pengemis suara tak pernah benar-benar datang untuk melayani rakyat, mereka hanya datang untuk memenuhi ambisi pribadinya beserta kelompoknya.

Dengan realitas tersebut seharusnya rakyat sadar, tidak lagi membiarkan suaranya dijadikan komoditas murahan. Sebab suara rakyat bukan untuk dijual dengan harga recehan, ataupun ditukar dengan sembako murahan, bukan untuk digadai dengan janji yang tidak pernah ditepati.

Jika rakyat terus memberi panggung kepada para pengemis suara yang sejatinya adalah penipu rakyat, maka sesungguhnya rakyat juga adalah bagian dari kebohongan itu sendiri.

Sebuah peribahasa mengatakan, “Keledai yang bodoh pun tidak akan mau masuk ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.” pribahasa ini harusnya menjadi pengingat bagi rakyat, agar tidak mengulangi kesalahan yang sama berulang-ulang pada saat memberikan suaranya kepada pengemis.

Kebodohan sejatinya bukan lahir dari ketika kita melakukan sebuah kesalahan, tetapi disebabkan karena kita tidak mau belajar dari sebuah kesalahan.

Setiap kesalahan, setiap luka, dan setiap pengalaman pahit adalah guru yang mahal harganya. Jika kita masih mengabaikan pelajaran itu, kita bukan hanya sekadar ceroboh, tetapi juga menolak kesempatan untuk menjadi lebih bijak.

Rakyat tidak boleh kalah dan lebih bodoh dari seekor keledai. Jika keledai mampu belajar dari kesalahan mengapa kita rakyat tidak. Kesalahan boleh terjadi sekali, tetapi jangan biarkan ia terulang dua kali di tempat yang sama.

“Salah memberikan suara kepada pengemis, sama dengan salah memilih wakil, salah memilih wakil fatal akibatnya.

Kemudian tentang memilih atau tidak memilih pada saat pemilu adalah hak asasi yang dijamin oleh konstitusi, kalau ternyata pilihannya adalah seorang penipu maka jalan terbaik tidak usah memilih” (Anto Bangun)