Medan,KPonline, – Outsourcing, yang selalu disebut para pengusaha dan pemerintah dengan kalimat manis “alih daya”, adalah fakta baru tentang eksploitasi tenagakerja modern.
Di balik istilah yang terdengar manis, rapi dan profesional ini, tersimpan sebuah sistem yang perlahan tapi pasti menghisap keringat, darah, tenaga, bahkan masa depan buruh.
Outsourcing sengaja diciptakan oleh pengusaha bekerjasama dengan pemerintah, didesain agar perusahaan pengguna tenaga kerja bisa menikmati keuntungan sangat besar, tanpa harus memikul beban tanggung jawab penuh terhadap buruh. Upah rendah, status kerja tidak jelas, minimnya jaminan sosial, hingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dapat dilakukan sewaktu-waktu ” bila masih suka dipakai, dan ketika tidak suka dibuang” alasan PHK sewaktu-waktu ini pun bermacam ragam, mulai dari alasan kinerja buruk dan sebagainya.
Sistim outsourcing juga merupakan lahan bisnis yang basah bagi pengusaha penyedia tenagakerja, mulai dari perekrutan, penyaluran hingga pembayaran gaji, pengusaha penyedia tenaga kerja mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda.
Buruh outsourcing tidak ada bedanya dengan barang sewaan, dipindah-pindah sesuka hati, tanpa kepastian karir. Hak-hak normatif dijamin oleh undang-undang, seperti upah layak, cuti, dan pesangon, sering dipangkas dengan dalih “perjanjian kontrak”.
Lebih Ironis banyak buruh outsourcing bekerja pada pekerjaan utama atau pekerjaan yang berhubungan langsung kepada proses produksi, tetapi tidak pernah merasakan kenyamanan dan keamanan kerja layaknya buruh tetap.
Bagi pengusaha penyedia tenaga kerja, outsourcing adalah bisnis yang menjanjikan dan pasti mendapatkan keuntungan dan tidak akan mengalami kerugian.
Sedangkan bagi pengusaha pengguna buruh outsourcing adalah jalan pintas untuk menekan biaya produksi.
Sebaliknya bagi buruh, outsourcing adalah perangkap yang mengikat mereka pada rantai kemiskinan, jelas terlihat bahwa sistem outsourcing bukanlah sebuah solusi untuk kesejahteraan, melainkan bentuk perbudakan gaya baru yang menjerumuskan buruh (rakyat) kedalam jurang kemiskinan.
Buruh outsourcing bekerja keras membanting tulang, tetapi hasil jerih payahnya lebih banyak mengalir ke kantong perusahaan penyedia tenaga kerja dan perusahaan pengguna. Mereka kehilangan kendali atas nasib sendiri, dan setiap saat bisa “dibuang” tanpa belas kasihan.
Hal inilah mengapa serikat buruh, aktivis, dan seluruh buruh harus bersatu menuntut penghapusan praktik outsourcing, terutama di pekerjaan yang bersifat tetap dan berhubungan langsung dengan proses produksi. Kekuatan kolektif kaum buruh dan persatuan atau gabungan dari seluruh serikat buruh adalah satu-satunya senjata untuk memutus rantai sistem penghisap darah ini.
Kaum buruh jangan terlalu berharap kepada pemerintah untuk menghapus sistim outsourcing sebab hal itu adalah sebuah kemustahilan, antara pengusaha dan pemerintah adalah setali tiga uang sama-sama penghisap darah buruh.
Outsourcing bukan sekadar persoalan status kerja. Ini adalah masalah keadilan, martabat, dan hak asasi manusia. Selama sistem ini dibiarkan, selama itu pula buruh akan terus dihisap darahnya demi keuntungan segelintir orang.
“Buruh Bersatu Kuat Tidak Terkalahkan dan Pasti Sejahtera. (Anto Bangun)