Anto Bangun KC FSPMI Labuhanbatu : Lebih Baik Tolol demi Rakyat, Daripada Agamis tapi Menggerogoti Anggaran.

Anto Bangun KC FSPMI Labuhanbatu : Lebih Baik Tolol demi Rakyat, Daripada Agamis tapi Menggerogoti Anggaran.

Medan,KPonline, – Statemen Kang Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, saat dikritik dengan sebutan “Gubernur Tolol”, yang kemudian ditanggapinya dengan kalimat: “Lebih baik tolol demi rakyat, daripada tampak agamis tapi menggerogoti anggaran”, adalah sebuah sindiran telak sekaligus refleksi pahit bagi kita semua.

Di negeri ini, rakyat terlalu sering terkecoh oleh penampilan. Terutama oleh pemimpin yang rajin memamerkan simbol-simbol kesalehan: jubah panjang, peci hitam, lantunan ayat suci, hingga doa-doa yang dipertontonkan di depan publik. Semua itu seolah jadi tiket instan untuk meraih kepercayaan rakyat. Tetapi di balik panggung yang penuh doa dan retorika, justru praktik kotor terjadi: korupsi, kolusi, hingga pengkhianatan terhadap rakyat dilakukan tanpa rasa malu.

Padahal, dalam ajaran agama manapun, korupsi adalah dosa besar. Islam menyebutnya ghulul,pengkhianatan terhadap amanat yang diancam dengan azab pedih. Kristen menegaskan: “Cinta uang adalah akar segala kejahatan.” Hindu menekankan bahwa korupsi melanggar satya (kebenaran) dan ahimsa (tidak menyakiti). Buddha melihat korupsi sebagai buah keserakahan yang menambah beban karma buruk. Singkatnya, korupsi tidak mengenal agama, korupsi hanya mengenal kerakusan.

Yang paling berbahaya adalah ketika agama dijadikan topeng untuk menutupi kerakusan itu. Mereka tampak alim di mimbar, tetapi rakus di meja anggaran. Pandai bersilat lidah dengan ayat, tetapi cekatan merampok hak rakyat.

Di sini, rakyat seharusnya sudah bisa menarik kesimpulan: penampilan agamis, gelar akademik, rajin ibadah, dan dermawan di depan kamera, bukanlah jaminan moralitas. Semua itu bisa saja hanyalah kosmetik untuk menutupi kebusukan. Sebaliknya, seseorang yang urakan, ceplas-ceplos, bahkan dianggap “tolol”, tidak otomatis buruk moral dan integritasnya.

Maka benar adanya, lebih baik pemimpin yang sederhana, apa adanya, bahkan dianggap bodoh oleh elit, asalkan ia jujur, tulus, dan berpihak kepada rakyat. Itu jauh lebih mulia daripada pemimpin yang tampak agamis, tetapi sejatinya munafik dan rakus.

Pada hakikatnya, kejujuran tanpa kepintaran lebih terhormat daripada kecerdikan yang dibungkus kesalehan palsu.

Lebih baik pemimpin yang gagap bicara tapi tegas bertindak demi rakyat, daripada yang pandai beretorika dengan ayat, tetapi setiap kebijakannya menambah penderitaan.

Sejarah telah mengajarkan: rakyat tidak butuh pemimpin yang pandai menipu dengan retorika moral. Rakyat butuh pemimpin yang berani hidup sederhana, tidak silau fasilitas, dan rela dianggap “tolol” asalkan tetap teguh menjaga amanah rakyat.

Karena pada akhirnya, lebih baik tolol demi rakyat, daripada agamis tapi korupsi.

Terimakasih dan salam hormat kepada Kang Dedi Mulyadi, semoga tetap amanah dan konsisten berpihak kepada rakyat. (Anto Bangun)