Anto Bangun KC FSPMI Labuhanbatu : Dimana Bumi Dipijak, Disitu Rakyat Dipajak dan Dipalak

Anto Bangun KC FSPMI Labuhanbatu : Dimana Bumi Dipijak, Disitu Rakyat Dipajak dan Dipalak

Medan,KPonline, – “Hari ini yang tidak kena pajak dan bebas dari segala bentuk pemalakan, hanya tinggal menghirup oksigen saja, dan tidak tertutup kemungkinan suatu saat nanti setiap rakyat yang menghirup oksigen demi hidup dikenai pajak”

Salah satu pepatah lama terdapat sebuah ungkapan bijak: “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.”

Sebuah ajaran luhur tentang hormat dan adaptasi terhadap tempat kita berdomisili.

Tetapi pada kenyataan hari ini, pepatah itu telah dibajak oleh kepentingan kekuasaan dan pasar. Kini, maknanya berubah menjadi,

“Di mana bumi dipijak, di situ rakyat dipajak dan dipalak.”

Setiap jengkal tanah yang injak rakyat tidak lagi menjadi tempat berlindung yang aman, nyaman dan adil, telah berubah menjadi ladang perburuan pendapatan negara, bahkan tanpa memedulikan kondisi ekonomi rakyat yang makin terjepit. Mulai dari pajak pertambahan nilai, (PPN) pajak bumi dan bangunan, (PBB) pajak kendaraan bermotor (PKB), pajak warung makanan, hingga pajak preman, ditambah retribusi ini dan itu.

Selain pajak dan kutipan restribusi, berbagai pungutan liar yang dibungkus “administrasi” juga dibebankan kepada rakyat, dan rakyat dipaksa untuk membayar demi hidup di tanah mereka sendiri.

Buruh dipotong pajak, pedagang kecil dipungut retribusi, nelayan dikejar pungutan izin, petani dibebani beban harga pupuk yang tak masuk akal, sementara para pemodal besar dengan mudahnya menghindari pajak lewat celah hukum yang disediakan oleh sistem.

Yang kecil dipalak, yang besar dilapangkan,

yang lemah dikontrol, yang kuat dikawal.

Di daerah yang jauh dari kota Kabupaten rakyat miskin harus merogoh kocek hanya untuk mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK) serta akta lainnya, bahkan untuk sekadar berobat pun dibebani biaya tambahan.Ironisnya, semua ini terjadi atas nama “pembangunan”, sementara fasilitas publik tetap timpang, korupsi tak kunjung sirna, dan pelayanan publik jauh dari kata layak.

Apakah ini wajah negara yang katanya “berpihak pada rakyat” Atau justru negara yang menjadikan rakyat sebagai objek pajak belaka,diperah tenaganya, dipungut hartanya, namun diabaikan suaranya.

Rakyat sedang hidup di zaman di mana hukum dan sistem hanya berpihak pada yang punya modal, sementara rakyat jelata hanya dijadikan mesin pungutan. Bila tidak ada keberpihakan yang nyata, maka kepercayaan akan mati, dan perlawanan adalah keniscayaan.

Sejatinya rakyat bukanlah sapi perah, rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi, dan negeri ini bukan kandang elit yang boleh sesuka hati memungut hasil dari keringat rakyat.

Jika tanah ini masih disebut tanah air, maka jangan biarkan air mata rakyat menjadi sebuah peringatan, sebab kesabaran itu ada batasnya. (Anto Bangun)