Antara 8,5 hingga 10,5%: Taruhan Kenaikan Upah 2026 untuk Martabat Kelas Pekerja

Antara 8,5 hingga 10,5%: Taruhan Kenaikan Upah 2026 untuk Martabat Kelas Pekerja

Jakarta, KPonline – Tahun 2026 belum tiba, tetapi denyut wacana kenaikan upah sudah lebih dulu menyeruak terdengar diberbagai ruang publik, terutama dikalangan serikat pekerja. Angka yang diusulkan antara 8,5 hingga 10,5 persen menjadi titik tumpu yang diyakini bisa memberi napas lega bagi jutaan buruh di Indonesia.

Angka ini bukan asal sebut. Ia lahir dari kalkulasi kebutuhan riil pekerja, pertimbangan inflasi, hingga proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, seperti biasa, perdebatan tentang upah tidak pernah sederhana. Di satu sisi, buruh menuntut hak atas kehidupan yang layak. Di sisi lain, pengusaha kerap menyoroti beban biaya produksi dan iklim investasi. Sementara pemerintah berada di posisi tengah yang sering kali dianggap ambigu, antara menjaga stabilitas ekonomi makro dan memenuhi janji keadilan sosial.

Mari kita buka mata. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa kenaikan harga kebutuhan pokok tidak pernah berhenti. Data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam beberapa tahun terakhir mencatat inflasi tahunan rata-rata di kisaran 3-4 persen. Namun bagi buruh, angka inflasi resmi sering terasa “lebih kecil” dibanding realitas di pasar. Harga beras premium sudah menembus Rp16 ribu per kilogram di sejumlah kota, biaya sekolah anak terus melonjak dengan iuran tambahan, dan biaya kesehatan makin berat meski ada BPJS.

“Kalau kenaikan upah cuma 2 atau 3 persen, sama saja dengan tidak naik. Harga barang naik lebih cepat daripada gaji kami,” kata Econk, buruh pabrik tekstil di Purwakarta, ketika ditemui usai rapat konsolidasi serikat.

Pernyataan Econk bukan keluhan kosong. Ia menggambarkan apa yang dirasakan jutaan keluarga pekerja di seluruh Indonesia. Bahwa kenaikan upah harus mampu menutup celah antara pendapatan dan biaya hidup yang semakin lebar.

Salah satu argumen klasik pengusaha adalah soal produktivitas. Katanya, kenaikan upah harus sejalan dengan kenaikan produktivitas. Faktanya, produktivitas buruh Indonesia memang terus meningkat. Sektor manufaktur tumbuh stabil, industri ekspor masih menjadi andalan, dan pekerja di lapangan kerap bekerja melebihi target yang ditentukan.

Ia pun menegaskan bahwa kenaikan upah 8,5–10,5 persen justru masuk akal.

“Buruh Indonesia tidak bisa terus diperlakukan sebagai tenaga kerja murah. Produktivitas mereka meningkat, kontribusi terhadap ekonomi juga besar. Kalau upah tidak naik signifikan, maka daya beli akan jatuh, dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi nasional ikut tertekan,” jelasnya.

Dengan kata lain, kenaikan upah bukan semata beban, melainkan investasi bagi stabilitas konsumsi domestik-motor utama ekonomi Indonesia.

Tidak bisa dipungkiri, daya beli masyarakat adalah tulang punggung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Data Bank Indonesia berulang kali menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Artinya, kalau daya beli buruh jatuh, maka roda ekonomi nasional pun akan goyah.

Kenaikan upah 8,5-10,5 persen di tahun 2026 akan memberi ruang lebih besar bagi buruh untuk berbelanja, menabung, bahkan menyekolahkan anak ke jenjang lebih tinggi. Semua ini bermuara pada peningkatan kualitas hidup sekaligus pertumbuhan ekonomi yang lebih sehat.

Namun, disisi lain, suara dari kalangan pengusaha tetap mengemuka. Mereka menyebut kenaikan upah yang tinggi akan memukul daya saing industri. “Kalau kenaikan upah terlalu besar, investor bisa hengkang. Industri padat karya bisa goyah,” ujar Agus salah satu pengusaha garmen di Jawa Barat.

Pernyataan ini, meski terdengar logis, sesungguhnya sudah berulang-ulang dipakai sejak era Orde Baru. Ketakutan tentang hengkangnya investor selalu menjadi senjata utama untuk menekan aspirasi buruh. Padahal, kenyataannya, banyak investor tetap bertahan karena Indonesia memiliki pasar yang besar, tenaga kerja melimpah, dan infrastruktur yang semakin membaik.

“Investor tidak semata-mata melihat upah. Mereka melihat stabilitas politik, regulasi, dan pasar domestik. Jadi jangan selalu mengorbankan buruh demi alasan investasi,” kata Said Iqbal, Presiden KSPI, dalam sebuah konferensi pers beberapa waktu lalu.

Di tengah tarik-menarik kepentingan ini, pemerintah berada di posisi yang sulit. Dimana Undang-undang Ketenagakerjaan yang baru pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tak kunjung hadir. Bahkan, untuk draf Rancangan Undang-undang (RUU) nya saja belum jelas keberadaan nya.

Bagi buruh, tuntutan kenaikan 8,5–10,5 persen adalah bentuk keberanian untuk mengatakan “cukup sudah hidup dalam upah murah”. Mereka tidak sedang menuntut kemewahan, melainkan menuntut keadilan.

“Upah itu bukan hanya angka. Itu soal harga diri kami sebagai manusia yang bekerja,” tegas juned, seorang aktivis buruh dari Purwakarta.

Dibalik tuntutan itu, ada cerita keluarga yang berharap bisa makan tiga kali sehari dengan gizi seimbang. Ada anak-anak buruh yang bermimpi melanjutkan sekolah tanpa harus putus karena biaya. Ada orang tua yang ingin menabung sedikit demi masa depan. Semua itu membutuhkan upah yang layak.

Angka 8,5–10,5 persen muncul dari beberapa pertimbangan:

•Inflasi riil dan proyeksi biaya hidup yang meningkat pesat.

•Pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan di kisaran 5 persen, cukup kuat untuk menopang kenaikan upah.

•Produktivitas buruh yang meningkat, sehingga wajar jika mereka mendapat kompensasi lebih baik.

•Pemerataan kesejahteraan, agar tidak ada lagi ketimpangan yang makin tajam antara pemilik modal dan kelas pekerja.

Dengan dasar tersebut, angka 8,5-10,5 persen adalah kompromi yang realistis, bukan tuntutan yang mengada-ada.

Tahun 2026 akan menjadi ujian penting bagi pemerintah Prabowo Subianto. Pasca putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang sebelumnya sempat mengoreksi beberapa pasal kontroversial UU Cipta Kerja, kini saatnya pemerintah membuktikan keberpihakannya.

Jika tuntutan buruh diabaikan, potensi aksi besar-besaran bisa terjadi. Sejarah telah membuktikan bahwa buruh tidak segan turun ke jalan bila hak-haknya diremehkan. Dari mogok kerja, demonstrasi nasional, hingga aksi tutup jalan tol, semua pernah dilakukan sebagai bentuk perlawanan.

Kenaikan upah tahun 2026 bukan sekadar persoalan angka. Ia adalah taruhan besar bagi martabat kelas pekerja dan arah pembangunan ekonomi bangsa. Apakah Indonesia akan tetap bertumpu pada upah murah demi investor, atau berani melangkah menuju ekonomi yang berkeadilan sosial?

Kenaikan 8,5-10,5 persen harus dipandang sebagai jalan tengah. Karena nilai itu disinyalir cukup untuk menjaga daya beli buruh, sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Bukan sekadar kompromi, melainkan kewajiban moral negara terhadap rakyat pekerja.

Seperti kata seorang buruh senior dalam sebuah diskusi.

“Kami hanya ingin hidup layak, tidak lebih. Kalau negara tidak bisa memberi itu, lalu untuk siapa sebenarnya pembangunan ini?”

Tahun 2026 adalah momentum. Dan angka 8,5-10,5 persen bisa menjadi simbol apakah bangsa ini benar-benar menghormati pekerja, atau sekadar menjadikan mereka roda yang diperas tanpa henti.