Semarang, KPonline – Ratusan buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Jawa Tengah (ABJaT) menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah, Rabu (22/10/2025). Meskipun mereka dalam kondisi hujan, mereka tetap semangat dalam mengikuti aksi unjuk rasa tersebut. Dari Aliansi Buruh Jawa Tengah menuntut pemerintah menaikkan Upah Minimum 2026 sebesar 10,5 persen dan segera membentuk Undang-Undang Ketenagakerjaan baru yang berpihak kepada pekerja/buruh.
Aliansi ABJaT yang merupakan gabungan dari beberapa federasi serikat pekerja, antara lain FSPMI, FSP KEP KSPI, FSP Farkes Reformasi, ASPEK Indonesia, FSPIP, dan SB Semar Grobogan, menilai bahwa selama periode 2024–2025 harga kebutuhan pokok, transportasi, dan perumahan melonjak tajam, yang berdampak langsung pada meningkatnya Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Namun, kebijakan pengupahan dalam PP No. 51 Tahun 2023, turunan dari UU Cipta Kerja, dinilai membatasi kenaikan upah riil pekerja.
“Kenaikan minimal 10,5 persen adalah langkah realistis dan berkeadilan. Ini tahapan awal untuk memangkas ketimpangan upah antara Jawa Tengah dan provinsi lain. Kalau ingin benar-benar setara, secara ekstrem dibutuhkan kenaikan hingga 43 persen,” ujar Aulia Hakim, Ketua DPW FSPMI Provinsi Jawa Tengah yang juga menjadi Koordinator Jaringan ABJaT.
Sedangkan di Jawa Tengah sendiri, Menurut Aulia disparitas upah di Jawa Tengah sendiri juga semakin lebar. Contohnya antara Banjarnegara dan Kota Semarang. Dimana UMK Kabupaten Banjarnegara saat sekarang Rp 2,1 juta dan Kota Semarang Rp 3,4 juta. Terdapat selisih Rp 1,2 juta, padahal pada 2012 lalu, selisihnya hanya Rp 200 ribu.
Selain isu upah, ABJaT juga menuntut agar pemerintah dan DPR segera membentuk UU Ketenagakerjaan baru yang terpisah dari UU Cipta Kerja. Menurut mereka, regulasi saat ini justru melemahkan perlindungan pekerja karena memperluas sistem kontrak dan outsourcing tanpa batas, menghapus Upah Minimum Sektoral (UMSK), serta menurunkan nilai pesangon.
“UU Cipta Kerja membuat buruh semakin tidak pasti dan rentan. Kami ingin undang-undang baru yang disusun melalui dialog sosial tripartit secara setara antara buruh, pengusaha, dan pemerintah,” tegas Aulia.
ABJaT juga menegaskan bahwa tuntutan mereka sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan Nomor 168/PUU-XXII/2024, yang mewajibkan agar penetapan upah dan kebijakan ketenagakerjaan mempertimbangkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, KHL, serta partisipasi publik yang bermakna.
Dalam pernyataannya, ABJaT mendesak pemerintah untuk segera:
Menetapkan kenaikan upah minimum Provinsi Jawa Tengah tahun 2026 minimal sebesar 10,5 persen.
Mengundangkan UU Ketenagakerjaan baru yang berpihak kepada buruh dan menggantikan aturan turunan UU Cipta Kerja.
“Sudah cukup lama buruh menjadi korban kebijakan yang lebih berpihak kepada pemodal. Kini saatnya negara hadir di sisi buruh dan melindungi pekerja, bukan sekadar mempermudah investasi,” pungkasnya. (sup)