Jakarta, KPonline-Rencana unjuk rasa besar-besaran rakyat pekerja (Kaum buruh) yang sedianya akan berlangsung di Istana Negara dan atau DPR RI, dibatalkan atau digeser. Dan itu merupakan sebuah keputusan yang tak pelak memantik tudingan dengan tanda tanya besar. Dimana sebelumnya berencana pada tanggal 22 November, kemudian bergeser ke 24 November. Namun kini tiba-tiba gagal kembali.
Menurut sejumlah informasi yang dihimpun dari konfederasi serikat pekerja dan serikat buruh yang berencana mengerahkan puluhan ribu buruh mengatakan bahwa pembatalan aksi itu muncul setelah pemerintah menunda pengumuman angka Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026, momen yang semestinya jadi pemicu aksi. Mereka menyebut keputusan mundur itu sebagai alasan teknis, tetapi bagi aktivis dan pengamat gerakan buruh, arti sebenarnya lebih tajam yaitu arus kepentingan politik dan negosiasi belakang layar sedang bermain, sementara kebutuhan nyata pekerja dibiarkan menunggu.
Sumber-sumber media melaporkan bahwa jumlah massa yang akan dikerahkan mencapai puluhan ribu, ada laporan angka hingga 15.000 orang untuk aksi serentak di Istana dan atau DPR RI, namun rencana tersebut digeser ke hari kerja agar aksi lebih efektif. Kritikus serikat menilai alasan efektivitas itu tak lebih dari upaya meredam tekanan publik pada hari libur.
Pembatalan aksi memberi insentif politik kepada pihak-pihak yang ingin meredam isu upah di ruang publik, sementara serikat kehilangan momentum untuk menekan keputusan politik yang sedang digodok. Aktivis buruh menuduh adanya permainan waktu: “Kalau pemerintah menunda pengumuman sampai pasca-gelombang aksi, suara buruh akan teredam dan publik lupa”
Skenario paling mungkin sekarang adalah serikat merapikan kembali strategi sambil menunggu pengumuman resmi UMP, lalu memutuskan apakah akan meneruskan dengan skala yang sama atau menaikkan tekanan. Namun di lapangan, sejumlah aktivis menyerukan pendekatan yang lebih taktis: kampanye publik, advokasi ke DPR, dan penggalangan solidaritas internasional bukannya mengandalkan sekali dayung besar yang bisa dibatalkan kapan saja.
Pemerintah, hingga laporan ini ditulis, mengklaim sedang melakukan kajian teknis dan koordinasi antar-institusi sebelum menetapkan angka UMP. Bagi buruh, klaim itu tak mempan. Bahkan, sebagian besar menilai pernyataan itu hanya modus administrasi untuk menenangkan opini publik sementara tekanan korporasi dan daya saing industri menjadi prioritas utama pembuat kebijakan.
Pembatalan aksi bukan sekadar pergeseran tanggal di kalender. Ini adalah cermin dari hubungan kuasa ketika suara kolektif pekerja tak segera dihadapkan pada keputusan politik yang konkret, hak-hak ekonomi mereka terancam. Menunda demo tidak menunda kebutuhan: harga-harga naik, biaya pendidikan anak tak menunggu, dan kontrak kerja sementara tak berubah. Bagi banyak keluarga buruh, setiap hari penundaan sama saja dengan penambahan beban hidup.
Jika pembatalan ini memang dimotivasi oleh efektivitas dan birokrasi, maka satu pertanyaan sederhana mengambang: efektif untuk siapa? Untuk buruh yang menanggung beban hidup atau untuk kekuasaan yang hendak meredam gelombang protes demi kenyamanan investor? Sampai kapan rakyat pekerja harus menunggu agar negara siap menerima tuntutan mereka? Jawabannya hanya satu: bila suara disuarakan lagi lebih terorganisir, lebih taktis, dan lebih tak terduga maka pembatalan hari ini bisa berubah menjadi amunisi politik yang membakar momentum.