Akibat Tingkah Pongah Anggota DPR, Rakyat dan Aparat Menjadi Tumbal

Akibat Tingkah Pongah Anggota DPR, Rakyat dan Aparat Menjadi Tumbal

Medan,KPonline, – Kondisi kemarahan rakyat sepertinya sudah mendekati puncaknya, tidak ada lagi yang bisa meredamnya, semuanya terjadi bermula dari tingkah pongah para pengemis suara, wakil partai politik yang mengaku sebagai wakil rakyat.

Di negeri ini, suara rakyat tidak punya arti apa-apa, hanya menjadi gema di ruang-ruang kosong, sementara keputusan-keputusan besar lahir dari balik pintu tertutup di sebuah gedung mewah.

Ketika rakyat berteriak menuntut haknya di jalanan, aparat melakukan penghadangan berdiri tegak berbaris di hadapan rakyat yang berteriak, tanpa pernah disadari oleh aparat, bahwa “rakyat yang dibenturkan dengan aparat sesungguhnya keduanya adalah tumbal dari para pengemis suara, wakil partai politik yang mengaku sebagai wakil rakyat”

Ketika terjadi bentrok fisik berdarah antara aparat dengan dengan rakyat, DPR yang seakan-akan berada di menara gading, mengintip dari balik jendela tersenyum manis dan berguman ” pion-pion sudah mulai berperang” DPR tidak akan pernah mau turun dari atas menara gading, menemui rakyat yang berteriak guna menampung aspirasinya, turut serta bersama-sama dengan rakyat merasakan panasnya jalanan, kemudian melarang aparat untuk bertindak represif.

Diruang lain dalam sebuah gedung yang mewah para komandan, memonitor kondisi lewat televisi dan memberi perintah komando ” buru dan tangkap rakyat yang anarkis” tanpa pernah mengevaluasi akar masalah penyebab marahnya rakyat adalah sikap pongah dan arogan dari para pengemis suara wakil partai politik yang mengaku sebagai wakil rakyat.

Sebagai sikap yang bijaksana seharusnya para aparat ini tidak menghalau dan menghalangi rakyat yang datang kegedung DPR, sebab tidak ada alasan bagi aparat untuk melarangnya, karena gedung DPR itu sejatinya miliknya rakyat, yang dipinjamkan pakaikan untuk sementara waktu kepada para pengemis suara wakil partai politik yang mengaku sebagai wakil rakyat.

Setiap kali ada kebijakan kontroversial, entah itu undang-undang yang merugikan atau aturan yang mengikat rakyat dibuat tanpa kompromi dengan rakyat, wajar saja kemudian rakyat menolaknya, kemudian menemui para pembuat aturan dan kebijakan tersebut ke gedung DPR. Tetapi yang terjadi selalu sama ” Aparat dikerahkan untuk melakukan penghadangan”

Dua pihak yang seharusnya saling melindungi, justru dipaksa berhadap-hadapan. Aparat menjadi tameng, rakyat menjadi korban, sedangkan DPR tetap duduk nyaman, memandang konflik rakyat dengan aparat sebagai tontonan gratis yang menarik.

Ironinya, Para pengemis suara, wakil partai politik yang mengklaim sebagai wakil rakyat ini, sikap dan langkahnya justru menjauhkan diri dari aspirasi yang diwakilinya. Mereka yang digaji dari keringat rakyat, tetapi lebih sibuk mengamankan kepentingan politik ketimbang mendengar suara yang memercik di jalanan.

Saat konflik antara rakyat dengan aparat pecah, mereka para pengemis suara wakil partai politik yang mengklaim sebagai wakil rakyat ini tidak pernah turun tangan. Tidak ada yang berdiri di garis depan, menenangkan situasi atau sekadar meminta maaf atas kebijakan yang melahirkan gejolak.

Kenyataannya, rakyat bukanlah musuh aparat, demikian sebaliknya aparat bukan musuh rakyat. Musuh rakyat dan aparat yang sesungguhnya adalah kebijakan yang lahir tanpa keberpihakan, yang dibuat dan lahir dari sebuah gedung parlemen.

Tetapi mengapa justru rakyat dan aparat yang dipaksa bertumbal setiap kali kegaduhan terjadi?

Siapa yang menciptakan aturan?

Siapa yang menikmati hasilnya?

Siapa yang bersembunyi ketika situasi memanas?

Jawabannya sama” mereka para pengemis suara yang sudah berganti sebutan sebagai DPR”

Sudah saatnya rakyat bertanya: sampai kapan pola seperti ini dibiarkan terus berlangsung.Sampai kapan rakyat dan aparat menjadi korban, sementara para pengambil keputusan bersembunyi di balik legitimasi demokrasi yang mereka kotori sendiri.

Demokrasi sejati menuntut keberanian, bukan berani hanya ketika mengetuk palu di ruang sidang, tetapi juga harus berani mempertanggungjawabkan dampak dan akibat dari palu yang diketukkan itu.

Selama DPR terus bermain aman dan membiarkan rakyat dan aparat menjadi tumbal,saling berhadapan dan bentrok, maka mereka bukan wakil rakyat, melainkan pengkhianat rakyat dan demokrasi, wajar saja ketika seluruh rakyat kemudian menyatukan suara “bubarkan DPR” (Anto Bangun)