Akhir Pelarian Upah Minimum 2026: Di Tangan Pengusaha atau Pemerintah yang Adil?

Akhir Pelarian Upah Minimum 2026: Di Tangan Pengusaha atau Pemerintah yang Adil?

Jakarta, KPonline – Menjelang akhir tahun, isu kenaikan Upah Minimum Tahun 2026 menjadi sorotan utama, bukan hanya di meja rapat Dewan Pengupahan, tetapi juga di pabrik-pabrik dan dikalangan serikat buruh. Pertanyaan besar pun menggantung, siapa yang sebenarnya menentukan nasib buruh. Pengusaha yang menghitung untung rugi, atau pemerintah yang seharusnya menjamin keadilan sosial?

Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) yang berafiliasi dengan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan berbagai organisasi buruh di seluruh tanah air telah menetapkan sikap. Mereka menuntut kenaikan upah minimum sebesar 8,5 hingga 10,5 persen untuk tahun 2026.

Angka itu, menurut mereka, bukan sekadar keinginan, tetapi hasil perhitungan realistis berdasarkan kenaikan biaya hidup, inflasi bahan pokok, dan kebutuhan layak bagi pekerja beserta keluarganya.

Sebaliknya, kalangan pengusaha yang tergabung dalam Apindo dan Kadin Indonesia meminta agar pemerintah tetap menggunakan formula PP 51/2023 tanpa perubahan.

Mereka beralasan, situasi ekonomi global belum sepenuhnya pulih. Biaya produksi meningkat akibat fluktuasi harga energi dan bahan baku impor. Kenaikan upah yang tinggi, menurut mereka, akan menekan daya saing industri dan memicu gelombang PHK.

Selain itu, menurut kalangan pengusaha jika upah naik terlalu tinggi, banyak industri padat karya seperti tekstil, sepatu, dan elektronik bisa tidak sanggup bertahan. Dan itu tentunya akan berbalik merugikan tenaga kerja itu sendiri.

Namun di sisi lain, buruh menilai alasan itu sudah klasik dan tidak mencerminkan kondisi lapangan. Sebab, sejumlah perusahaan justru mencatat lonjakan ekspor dan peningkatan laba bersih pasca-pandemi.

Pribahasanya: “Ketika untung mereka tidak berbagi, saat rugi minta ditanggung bersama. Ini ketimpangan moral dalam hubungan industrial”

Pemerintah kini berada dalam dilema di antara dorongan buruh untuk menaikkan upah secara benar dan desakan pengusaha agar kebijakan tetap pro-investasi.

Kementerian Ketenagakerjaan melalui Menaker Yasserli menyatakan bahwa pemerintah tengah mengkaji ulang formula upah sesuai putusan MK agar “lebih berkeadilan dan adaptif.” Namun hingga pertengahan Oktober 2025, belum ada kejelasan apakah pemerintah akan mengubah mekanisme penghitungan upah minimum tahun depan.

“Negara harus hadir untuk menyeimbangkan kepentingan dunia usaha dan pekerja. Namun, kesejahteraan pekerja tetap menjadi prioritas utama dalam pembangunan ekonomi,” ujar Ketua Konsulat Cabang FSPMI Purwakarta, Fuad BM.

Kemudian, setelah Mahkamah Konstitusi yang menganulir sebagian pasal dalam UU Cipta Kerja, banyak kalangan buruh berharap pemerintah segera menyusun RUU Ketenagakerjaan yang baru dengan rumusan upah yang lebih berpihak.

Persoalan kenaikan upah sejatinya bukan hanya persoalan angka, tetapi juga persoalan keadilan sosial dan penghargaan terhadap martabat pekerja. Buruh tidak menolak efisiensi, tidak menolak modernisasi industri, tetapi menuntut agar hasil pertumbuhan ekonomi dirasakan bersama.

Ketika produktivitas meningkat namun upah stagnan, maka ada yang timpang dalam struktur ekonomi nasional. Negara harus berani menegaskan bahwa kesejahteraan pekerja bukan beban investasi, melainkan pondasi keberlanjutan ekonomi itu sendiri.

Kenaikan Upah Minimum 2026 kini mendekati babak akhir pelarian panjang antara harapan buruh dan kepentingan pengusaha. Pemerintah berada di persimpangan sejarah: memilih menjadi penengah yang adil atau sekadar regulator yang tunduk pada pasar.

Keputusan yang akan diumumkan akhir November nanti akan menjadi cermin, apakah Indonesia benar-benar menempatkan kerja sebagai sumber kemuliaan manusia, atau hanya sebatas komoditas dalam roda ekonomi.

Dan sampai saat itu tiba, dimana suara dari pabrik-pabrik, dari lantai produksi hingga pos satpam, akan terus bergema yaitu: “Keadilan upah bukan hadiah, tapi hak yang harus diperjuangkan”