Semarang, KPonline — Menepati janji perjuangan yang telah diucapkan dan pantang untuk diingkari, buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Jawa Tengah (ABJAT) Presidium Kota Semarang kembali menggelar aksi unjuk rasa pada hari kedua, Selasa (23/12/2025), di depan Balaikota Semarang.
Aksi lanjutan ini menjadi penegasan sikap buruh bahwa perjuangan menuntut upah layak tidak berhenti pada simbolik semata, melainkan membutuhkan keputusan politik yang berpihak pada kepentingan hidup layak pekerja. Sejak siang hari, massa buruh terus bertahan di depan Balaikota dengan membawa tuntutan terkait penetapan Upah Minimum Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kota (UMSK) tahun 2026.
Dalam aksi hari kedua tersebut, buruh mendesak Pemerintah Kota Semarang menetapkan rekomendasi UMK 2026 menggunakan indeks alfa tertinggi, yakni 0,9. Dengan indeks tersebut, UMK Kota Semarang diusulkan berada di angka Rp3.721.000. Tuntutan ini dinilai masih sangat rasional, mengingat berdasarkan perhitungan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) versi pemerintah pusat, KHL Kota Semarang telah mencapai Rp4,6 juta.
Buruh juga menyoroti ironi disparitas upah minimum di Kota Semarang yang masih berstatus sebagai ibu kota provinsi, namun justru memiliki UMK yang relatif rendah. Kondisi ini dinilai sebagai bentuk ketimpangan struktural yang terus dibiarkan oleh pengambil kebijakan.
Usai melakukan aksi di Balaikota, massa buruh kemudian bergerak menuju Kantor Gubernur Jawa Tengah. Menjelang sore hingga malam hari, jumlah massa justru semakin bertambah, seiring beredarnya kabar bahwa Kepala Dinas Ketenagakerjaan Kota Semarang diduga menurunkan indeks alfa menjadi 0,5. Langkah tersebut dinilai sebagai pengkhianatan terhadap aspirasi buruh.
Hingga malam hari, buruh masih menduduki Kantor Gubernur Jawa Tengah dan menegaskan akan terus melakukan perlawanan apabila penetapan upah 2026 tidak berpihak pada kepentingan hidup layak buruh. (wahid)