Jakarta, KPonline – Sebanyak 75 ribu buruh yang tergabung dalam Partai Buruh dan Koalisi Serikat Pekerja Indonesia akan menggelar aksi serentak di 38 provinsi pada 15 hingga 25 Agustus 2025. Aksi ini merupakan bentuk perlawanan atas berbagai kebijakan yang dinilai mengancam hak-hak dasar kaum buruh dan kedaulatan negara.
Dalam aksi tersebut, para buruh akan membawa enam tuntutan utama. Dua di antaranya adalah penolakan terhadap klausul perjanjian dagang Indonesia-Amerika Serikat yang memungkinkan transfer data pribadi warga negara Indonesia ke yurisdiksi Amerika, serta desakan agar pemerintah segera membentuk Satuan Tugas (Satgas) PHK untuk menghadapi gelombang pemutusan hubungan kerja akibat tarif tinggi yang diberlakukan oleh Presiden Donald Trump terhadap produk ekspor Indonesia.
Presiden Partai Buruh sekaligus Presiden KSPI, Said Iqbal, menyatakan bahwa transfer data pribadi ke luar negeri adalah pelanggaran serius terhadap kedaulatan dan hak konstitusional warga negara.
“Bagaimana mungkin data pribadi warga negara Indonesia, termasuk kaum buruh, bisa dipindahkan ke negara lain tanpa persetujuan rakyat? Ini bentuk penjajahan digital. Kami tolak keras!” tegas Said Iqbal di Jakarta.
Selain itu, menurut Iqbal, dampak dari kebijakan tarif Presiden Trump sangat nyata. Gelombang PHK mulai terjadi di sektor-sektor padat karya seperti tekstil, sepatu, dan elektronik. Karena itu, ia menuntut dibentuknya Satgas PHK yang melibatkan pemerintah, serikat pekerja, dan pengusaha agar buruh tidak menjadi korban tunggal dari krisis global.
Di samping dua tuntutan utama tersebut, empat isu lainnya juga menjadi sorotan dalam aksi ini: penghapusan sistem outsourcing yang menjebak jutaan buruh dalam ketidakpastian kerja; desakan agar DPR segera membuat dan mengesahkan RUU Ketenagakerjaan baru sesuai Putusan MK Nomor 168/2024; pelaksanaan Putusan MK Nomor 135/2025 tentang pemisahan Pemilu nasional dan daerah; serta reformasi sistem pajak agar lebih adil bagi buruh.
Para buruh meminta agar Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dinaikkan menjadi Rp7,5 juta per bulan, menghapus diskriminasi PPh 21 terhadap buruh perempuan yang berkeluarga, serta menolak pajak terhadap pesangon, JHT, THR, dan dana pensiun.
“Pajak tidak boleh jadi alat menindas. Saat daya beli buruh menurun, negara justru memungut lebih banyak dari yang tak punya,” ujar Iqbal.
Koalisi Serikat Pekerja yang tergabung dalam aksi ini terdiri atas Partai Buruh, empat konfederasi serikat pekerja tingkat nasional, 63 federasi serikat buruh nasional, serta sembilan organisasi kerakyatan dari berbagai sektor seperti petani, nelayan, guru, tenaga medis, konten kreator, awak media, hingga pelaut.
Di Jakarta, aksi dipusatkan di depan Istana Negara atau Gedung DPR RI. Sementara di daerah, aksi digelar di kantor-kantor Gubernur di antaranya Bandung, Serang, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Denpasar, Gorontalo, Banjarmasin, Medan, dan Bandar Lampung.
Aksi ini dirancang berlangsung secara damai dan konstitusional. Namun para buruh menegaskan bahwa mereka tidak akan diam ketika hak-haknya terus digerus oleh kebijakan yang tidak berpihak.
“Aksi ini adalah peringatan bahwa buruh bukan hanya angka statistik. Kami punya suara, kami punya kekuatan,” pungkas Iqbal.